17 Mei Hari Buku Nasional, Keberagaman Belum Afdal

Kutub.id – 17 Mei adalah hari bagi para pecinta literasi Indonesia karena hari itu merupakan peringatan Hari Buku Nasional. Hari Buku Nasional pertama kali diperingati pada tahun 2002 dan merupakan tanggal berdirinya Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 1980 lalu.

Walaupun sudah 20 tahun dirayakan, keterwakilan keberagaman dalam buku fiksi Indonesia cenderung minim. Dari 12 novel best seller Indonesia yang dilansir Gramedia pada tahun 2021, hanya terdapat satu buku yang menceritakan tentang tokoh dari Indonesia Timur, yaitu novel berjudul Perempuan yang Bercerita kepada Bulan Hitam.

Buku tersebut berdasarkan kisah nyata dari perempuan-perempuan Nusa Tenggara Timur yang merupakan penyintas kawin tangkap. Sebuah kebiasaan yang merugikan dan melanggar hak asasi kaum perempuan di Sumba. 

Keseluruhan dari penulis best seller tersebut tidak ada yang berasal dari Indonesia Timur. Buku yang menceritakan orang Sumba tadi juga ditulis oleh seorang yang berasal dari Pulau Jawa, tepatnya Kota Salatiga. 

Berdasakan penelitian Ummu Fatimah Ria Lestari yang meneliti mengenai sastra Indonesia-Papua (2000-2016), terdapat 12 novel yang menceritakan Papua dengan seluruh penulisnya merupakan perempuan. Sayangnya, hanya terdapat 2 orang perempuan yang merupakan penulis asli dari tanah Papua.

Muncul beberapa pertanyaan berdasarkan fakta tersebut, apakah memang tidak ada bakat penulis yang mumpuni dari Indonesia Timur atau kurangnya keterwakilan masyarakat Indonesia Timur dikarenakan kurangnya porsi kesempatan bagi mereka?

Padahal, penggambaran keberagaman dalam buku itu penting karena dapat membantu pembacanya untuk mengetahui identitas masyarakat dari suku, etnis, agama, maupun keberagaman lain yang berbeda. 

Tentunya, akan lebih baik jika penulisnya juga merupakan masyarakat asli dari tempat yang diceritakan. Hal tersebut untuk menghindari adanya bias maupun misrepresentasi dari suatu adat yang diceritakan. 

Pewarta: Diyanah Nisa