Oleh NisKyud
Seorang anak laki-laki berusia kisaran sepuluh tahun itu baru saja kembali dari masjid. Arloji di tangannya menunjukkan pukul 06.25 yang artinya keadaan masih pagi. Namun, cuaca sudah sangat terik. Bahkan, mentari seolah-olah hanya berjarak satu sentimeter dari bumi. Hal yang tidak biasa terjadi, orang-orang saling berlarian sambil berteriak, “Panas!”
Bocah itu bernama Alif. Ia kebingungan melihat keadaan di sekelilingnya. Entah apa yang terjadi dengan orang-orang. Alif mencoba bertanya pada Bu Tejo, tetangganya. Tapi, wanita bertubuh gempal itu terus berlari tak tentu arah, begitu juga dengan yang lainnya. Alif kini kesulitan mencari tahu alasan di balik keanehan yang terjadi di kampungnya itu.
“Alif!”
Suara indah nan lembut itu tak asing di telinga Alif. Ia lantas menoleh dan mendapati wanita cantik berjubah putih sedang tersenyum ke arahnya. Wajahnya bersinar, dan kilau dari cahaya yang terpancar dari tubuhnya membuat Alif sedikit menutup matanya.
“Bunda?”
“Iya, Sayang. Ini Bunda.”
Tanpa menunggu lama, bocah dengan sarung motif kotak-kotak itu langsung menghampiri wanita yang ia panggil “bunda”. Keadaan yang kacau dan ricuh sungguh tak membuat Alif takut. Bahkan Alif seperti tidak terpengaruh barang sedikitpun pada apa yang tengah terjadi. Bagai hanya ada ia dan bundanya saja di sana. Bagai tidak terjadi apapun di tempat itu.
“Bunda, Alif rindu sama Bunda!”
Tangan mungil milik Alif sontak memeluk erat tubuh si wanita yang kini tengah berjongkok untuk menyeimbangkan tinggi badannya dengan Alif.
“Bunda selalu ada di sampingmu, Sayang. Bahkan lebih dekat dari itu,” katanya.
Lalu, wanita itu melepaskan pelukannya dan telunjuknya menunjuk pada dada Alif. “Bunda ada di sini, di hati Alif. Di tiap detak jantung Alif. Di tiap deru napas Alif.”
Tanpa diminta, bulir yang sedari tadi menggenang di pelupuk mata Alif pun kini pecah dan mengalir deras membasahi pipinya yang berisi. Alif tidak tahu apa yang terjadi. Namun, kini ia merasa bahagia tak terkira. Sebab, sudah bertahun-tahun Alif tidak pernah bertemu dengan Bunda.
“Bunda kenapa ninggalin Alif sendirian?”
Ahirnya pertanyaan yang selama ini bocah itu pendam kini bisa ia utarakan. Pertanyaan yang kerap mengusik pikirannya. Pertanyaan yang selalu ingin segera mendapat jawabannya.
“Lho, sejak kapan bunda ninggalin Alif sendirian? Apa Alif lupa kalau Bunda pernah memberi seorang teman untuk Alif?” ucap Bunda seraya menghapus air mata di wajah Alif.
“Teman? Bocah itu tidak mengerti. Lebih tepatnya tidak tahu teman yang mana dan teman yang seperti apa yang dimaksud oleh bundanya. Sebab ketika bundanya meninggal, Alif tengah bersekolah. Lalu ketika pulang, Alif telah mendapati bundanya yang sudah tertutup kain kafan. Lantas, kapan bunda memberinya seorang teman?”Wanita berwajah teduh itu berdiri, lalu menggenggam tangan mungil Alif dan menariknya ke bawah pohon. Pohonnya sangat besar, bahkan daunnya pun terlihat seperti raksasa. Setidaknya itulah yang kini tampak di mata Alif.
“Bunda?”
“Ya, Sayang,” wanita itu tersenyum seraya menatap putra kecilnya.
“Kenapa pohon ini sangat besar?”
Bunda duduk di rerumputan segar lantas menepuk-nepuk tempat kosong di samping, bermaksud meminta Alif agar ikut duduk bersamanya.
“Bunda akan ceritakan hal yang mungkin sekarang sedang ingin Alif tahu,” ujarnya dan masih menampilkan senyuman.
Alif menuruti isyarat bunda agar duduk di sampingnya. Peci putih yang kebesaran di kepala Alif pun melorot hingga menutupi kedua netranya.
“Aduh, gelap!”
“Bunda? Bunda kemana? Jangan pergi lagi! Jangan tinggalin Alif lagi!”
Lantas Bunda tertawa kecil. Sungguh, tingkah bocah itu begitu menggemaskan. Ia membenarkan peci Alif dan terlihat bocah itu sedang tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang tidak lengkap.
“Dasar kamu ini.” Bunda mencubit kecil hidung Alif.
Orang-orang kalang kabut dan berlari ke arah manapun. Namun, pada kenyataannya mereka hanya berlarian di lingkungan itu-itu saja. Sebab rasa gelisah dan rasa tersiksa yang kini melanda diri mereka telah membuat mereka kehilangan akal sehatnya. Padahal, tak peduli seberapa jauh mereka berlari dan akhirnya Tuan Pemilik Sebesar-besarnya Fitnah akan menemukan mereka jua.
“Alif bisa lihat orang-orang itu?” kata Bunda (wajahnya sontak berubah serius dan terlihat sedih).
“Apakah di antara mereka ada yang Alifl kenal?”
Bocah itu tampak berfikir. Ia mengamati orang-orang yang sedang berlarian dan keadaan mereka seperti orang gila.
“Ah, itu Bu Tejo!”
“Itu Bu Rani!”
“Itu Pak Darman!”
(Telunjuk yang mungil itu menujuk satu per satu posisi di mana orang-orang yang ia sebut tadi berada).
“Alif tahu kenapa mereka berlarian ketakutan. Sedangkan kita bisa duduk tenang di bawah pohon besar ini?” Bunda mengalihkan pandangannya pada Alif.
(Alif menggeleng).
“Itu karena Alif punya seorang teman.”
(Bocah itu menautkan kedua alisnya. Bingung).
“Masih ingat? Bunda selalu titip pesan apa pada Alif ketika sebelum tidur?”
“Emm, apa ya?” Alif memegang dagunya, bagai orang yang sedang berfikir serius. Belum sempat bundanya mencubit pipi Alif yang gemas, bocah itu sudah lebih dulu melanjutkan ucapannya. “Bunda bilang Alif harus selalu baca surat al-Kahfi setiap hari. Iya kan, Bunda?”
“Benar sekali anak Bunda yang sholeh.” Lantas ia memeluk Alif erat.
Tangisnya pecah seiring cahaya yang kini terpancar dari tubuhnya. “Lihatlah … ini adalah hadiah untuk Alif karena tak pernah luput membaca surat al-Kahfi. Ketika orang-orang berlari ketakutan, Alif bisa dengan tenang terduduk di bawah pohon ini. Tidak takut, juga tidak cemas. Bunda mohon, terus jadikan Al-Qur’an sebagai teman Alif, ya.”
Setelah mengecup kening Alif, seketika kilau cahaya yang amat dahsyat membuat Alif menyipitkan kedua netranya. Pelukan erat bunda perlahan menghilang. Cahayanya pun redup seiring kembali normalnya keadaan sekitar.
“Bunda!”
Bogor, 2021.
Penulis adalah gadis imut kelahiran Bogor, penikmat cilok dan seblak. Saat ini ia aktif di PAC IPPNU Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor.