Minggu, September 24, 2023

Catatan untuk Catatan-Catatan Pembebasan

Kutub.id- Judul drama korea ini, My Liberation Notes, memang sudah mengisyaratkan adanya “pemberontakan”, pemberontakan yang tertahan dan lama-lama butuh dilepaskan. Semua karakter di drama ini (tidak sebatas beberapa tokoh utama) pada dasarnya ingin membebaskan diri dari segala rasa: kecewa, hampa, nestapa, geram, seram, muram. Juga membebaskan diri dari pikiran buntu, pikiran jahat, prasangka buruk, dan lain-lain.

Rutinitas keseharian di kota yang hiruk-pikuk dan di desa yang senyap rasanya tak jauh berbeda: orang-orang sekadar menjalani hidup. Kebahagiaan pun terasa sulit dijangkau tapi terus dicari. Bahkan jika kita merasa bahagia hanya ada 7 menit dalam sehari, itu sudah cukup.

Sejak 10 menit pertama dari 16 episode drama yang disiarkan Netflix ini, saya langsung suka. Kisahnya berpusat pada tiga kakak-beradik anak petani dan pembuat wastafel yang tinggal di desa Sanpo tetapi setiap hari harus kerja di Seoul. Dari rumah, Gijeong (Lee El), Mijeong (Kim Jiwon), dan Changhee (Lee Minki) harus berjalan kaki ke stasiun bus, naik bus sampai stasiun KRL, turun dari KRL berjalan kaki lagi sampai kantor. Tiga kakak-adik ini memiliki karakter berbeda: mulai sangat cerewet hingga sangat pendiam. Lalu ada lelaki seksi pemabuk berat bernama Pak Gu (Son Sukku) yang bekerja di keluarga mereka. Pak Gu ini lelaki kota yang sengaja menyepi.

Poster Drama Korea My Liberation Notes. /Tangkapan layar/Instagram @jtbcdrama

Kehidupan mereka relevan dan nyambung dengan keseharian banyak warga kota di Indonesia, utamanya kota besar. Pulang pergi kerja naik commuter line, gak dapat tempat duduk, terkantuk-kantuk. Sementara hidup di desa tidak menjanjikan. Kisah keseharian yang dikemas dengan apik dan menyadarkan. Antre lama di ATM, ada yang nyelak– mau marah tapi ternyata yang nyelak duitnya cekak. Ya gimana, sama-sama miskin kok marahan?

Baca Juga Ini Dia Daftar Drama Korea yang Bikin Kamu Semangat Lagi Gapai Mimpi!

Dialog-dialog dalam drama ini disusun dengan indah (mudah-mudahan terjemahannya nggak meleset ya ) dan dalam: hingga membahas rasa-rasa terkecil dalam hati kita. Dengan dialog “filosofis” dan jujur semacam itu, sangat masuk akal jika pengadeganan dibangun dengan lambat. Gambar saja sudah bicara, tak harus banyak kata, sehingga dengan alur sangat lambat pun penonton ikut terbawa dalam suasana. Kita bisa tertawa ngakak dalam luka. Asli! Saya berani bilang, saya bisa lebih ngakak nonton drama “substance” ini daripada komedi. Sarkasnya dapat, perihnya dapat, gembiranya dapat dan gombalnya pun dapat.

Mengenai dialog, baiklah, sedikit spoiler, misalnya ketika Mijeong membahas kriteria lelaki yang ia inginkan menjadi pendamping.

“Tentu aku ingin lelaki yang lebih hebat dariku, tapi jangan terlalu hebat juga. Kalau punya kekasih sangat hebat, aku justru khawatir, tidak tenang. Tapi kalau dia tidak terlalu hebat, aku jadi ingin berbuat sesuatu dan merasa berguna”.

Contoh lagi, saat Changhee membahas soal kematian dengan dua sahabat ngobrolnya. Ia menceritakan kakeknya yang pernah bilang bahwa waktu yang tepat untuk mati itu 80 tahun. Ketika kakeknya ultah ke-80, Changhee bilang, “Seharusnya kakek mati tahun ini”, dan dijawab, “Belum saatnya”, hingga akhirnya meninggal umur 90 tahun pun kakeknya merasa belum saatnya karena masih banyak hal belum diselesaikan. Lalu kapan waktu yang tepat untuk mati? Tidak ada waktu yang tepat, yang ada adalah kepastian akan kematian. Bukankah ini interpretasi bebas dari ayat “idza ja’a ajaluhum la yasta’khiruna sa’ah walaa yastaqdimun”?

Poster Drama Korea My Liberation Notes. /Tangkapan layar/Instagram @jtbcdrama

Lalu, Pak Gu yang sangar dan dingin itu ternyata bisa ngegombal juga.

Pak Gu (telp): “ayo ketemuan!”
Mijeong:”gak mau”.
Pak Gu:”Kenapa?”
Mijeong:”Aku agak gemuk, mau diet dulu”.
Pak Gu: ”Ya udah sana diet satu jam, lalu kita ketemu”.

Penulis: Susi Ivvaty; penggemar Drama Korea
Editor : Siti Fatonah

Baca Juga

Stay Connected

0FansSuka
20PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles