Oleh Siti Patimah
Kutub.id– Dewasa ini kita selalu dituntut untuk menjadi seseorang yang dapat memiliki kemampuan mumpuni di dunia digital. Seperti dari hal terkecil saja, misalnya kemampuan dalam mengirim pesan melalui aplikasi WhatsAapp untuk sekadar menanyakan kabar kepada kerabat terdekat.
Namun, jika tak menguasai cara penggunaan aplikasi tersebut, kita bisa saja mengirim pesan salah sasaran. Alih-alih bertanya kabar kepada keluarga, malah orang lain yang dikirim pesan.
Untuk mendeskripsikan situasi di atas, kita dapat menemukan istilah baru yaitu digital literasi. Waktu ini saya berkesempatan berbincang lebih dalam mengenai digital literasi bersama sahabat saya Echiny Youness dari Maroko.
Ia merupakan guru Bahasa Inggris yang baru saja diwisuda TEFl certified Teacher & Bachelor degree majored in linguistics. Dalam perbincangan yang diadakan oleh Teras Literasi Cianjur dengan tema Empowering Young With Digital Literacy. Selama 30 menit ini, beliau menyatakan bahwa digital literasy dapat didefinisikan sebagai berikut.
“Digital literacy means being able to understand and use technology. It relates to the ability to find, use and create information online in a beneficial way.”
Dari contoh penggunaan WhatsAap seperti yang saya jelaskan di atas serta pemaparan definisi digital literasi yang dibeberkan oleh saudara Youness, ini sangat betul ada korelasinya. Intinya tanpa digital literasi, sangat mustahil rasanya kita dapat mengirim pesan dengan tepat. Lebih dari itu, digital literasi mengedepankan aspek kebermanfaatan. Inti dari penggunaan WhatsAap adalah bermanfaat untuk mengetahui kabar kerabat, saudara, teman, dan lain sebagainya.
“How can we promote digital literacy?” Tanya saya di menit ke 18. Lalu ia menjawab.
“Tentu kita bisa mempromosikan digital literasi dengan hal-hal sederhana terlebih dahulu. Di kelas, ketika mengajar, saya kerap menggunakan benda-benda elektronik seperti proyektor, laptop, handphone serta aplikasi yang menunjang pembelajaran. Bahkan, saya pernah memberikan masukan kepada orang tua siswa, agar dapat membelikan handphone khusus belajar.
Di era digital ini, pengajar dituntut untuk bisa menguasai dunia digital dengan baik. Lalu, beliau juga menyatakan bahwa hal ini bagus agar guru dapat dengan mudah mendistribusikan mata pelajaran di kelas daring.
“We will not be able to achieve a liberating, collective
intelligence until we can achieve a collective digital literacy,
and we have now, more than ever, perhaps, the opportunity
and the technologies to assist us in the human project of
shaping, creating, authoring and developing ourselves as the
formers of our own culture. To this end, we must create the conditions for people to become wise in their own way.” (Poore, M. (2011).
Di atas telah dijelaskan dengan detail terkait manfaat digital literasi. Namun tetap tak bisa dipungkiri, ada beberapa tantangan yang muncul terkait hal ini. Ketika saja bertanya kepada Saudara Youness terkait what are the biggest challeges facing online education today?
Ia menjawab. “Di negara saya (Maroko) ada siswa yang tinggalnya di dekat gunung, mereka terisolasi sehingga belum bisa mengakses koneksi internet dengan baik. Selain itu juga, tidak semua siswa dapat memiliki hape.”
Sama halnya seperti di Indonesia, kita juga ternyata menghadapi permasalahan seperti ini. Barangkali ini bukan hanya masalah pendidikan antar Indonesia dan Maroko. Saya yakin, permasalahan ini menjadi tantangan di seluruh dunia. Sebab tidak semua beruntung dapat belajar digital literasi karena memang ada beberapa hal kemudian menjadi suatu kendala.
Penulis adalah anggota IPPNU Cianjur