Kutub.id- Ramadan tahun ini menjadi Ramadan yang bersejarah, khususnya bagi korban, penyintas, dan kelompok yang rentang mengalami kekerasan seksual. Pada (12/04), akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Apa sajakah poin penting dalam pengesahan UU TPKS tersebut?
Baca Juga: Gus Dur Sang Feminist
Elemen penting yang masuk ke dalam UU TPKS
UU TPKS mengadopsi 6 elemen kunci payung hukum yang komprehensif untuk penanggulangan tindak pidana kekerasan seksual. UU TPKS memuat terobosan hukum yaitu dengan mengatur:
- Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
- Pemidanaan (sanksi dan tindakan);
- Hukum Acara Khusus yang hambatan keadilan bagi korban, pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, termasuk pemastian restitusi dan dana bantuan korban;
- Penjabaran dan kepastian pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan melalui kerangka layanan terpadu dengan memperhatikan kerentanan khusus termasuk dan tidak terbatas pada orang dengan disabilitas;
- Pencegahan, Peran serta masyarakat dan keluarga;
- Pemantauan yang dilakukan oleh Menteri, Lembaga Nasional HAM dan masyarakat sipil.
9 Tindak Pidana yang Diatur UU TPKS
Sembilan tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS adalah:
- Pelecehan seksual non-fisik.
- Pelecehan seksual fisik.
- Pemaksaan kontrasepsi
- pemaksaan sterilisasi.
- Pemaksaan perkawinan.
- Penyiksaan seksual.
- Eksploitasi seksual.
- Perbudakan seksual.
- Kekerasan seksual berbasis elektronik.
UU TPKS Mengatur Kekerasan Seksual Kategori Tindak Pidana
Selain sembilan jenis kekerasan seksual tersebut, UU TPKS juga mengatur bentuk kekerasan seksual yang dikategorikan tindak pidana. Rinciannya yakni, perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan atau eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban.
Selain itu, ada dua pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, serta kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.
Teks/Foto: Isthi Qonita