Kutub.id – Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) banyak terjadi di Indonesia. Baru-baru ini santer terdengar dugaan KDRT terjadi kepada salah satu artis dangdut kenamaan indonesia, Lesti Kejora. Tak hanya kalangan artis saja, Kasus KDRT ini bisa terjadi kepada siapa saja.
Banyak bentuk dan faktor yang melatar belakangi terjadinya KDRT dalam keluarga. Padahal kasus kekerasan ini sudah di atur di Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga melarang penggunaan kekerasan dalam rumah tangga kepada anggota keluarga, seperti suami, istri, anak, serta orang lain yang memiliki hubungan dengan keluarga tersebut termasuk asisten rumah tangga jika ada.
Data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (kemenpppa), kemenppa.go.id melakukan survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada tahun 2016 untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk KDRT dan apa saja faktor penyebab tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa kaum perempuan, khususnya dalam kekerasan fisik dan seksual.
Survei ini menghasilkan data dimana ada beberapa jenis kekerasan yang di alami perempuan berumur 15-64 tahun. Ada beberapa bentuk kekerasan yang terjadi. Kalau Sobat Tangguh berpikir KDRT hanya soal pukul memukul, ternyata pembatasan aktivitas termasuk kedalam KDRT ini. KDRT jenis ini cukup tinggi karena sulit untuk di sadari sebagai sebuah bentuk kekerasan.
Contoh bentuk kekerasanya yakni seperti pasangan yang terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang dilakukan, hingga mudah marah dan suka mengancam. Kekerasan ini merupakan jenis kekerasan yang paling sering dialami perempuan yang sudah menikah, hingga mencapai 42,3%.
Selanjutnya ada KDRT dengan kekerasan ekonomi. Tingkat kesejahteraan masyarakat indonesia memang tidak terlalu tinggi. Kekerasan ini bisa berupa berupa meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya seperti memanfaatkan atau menguras harta pasangan. Sebanyak 1 dari 4 perempuan juga mengalami kekerasan ekonomi atau sebesar 24.5%.
Kekerasan emosional atau psikologis juga tak jarang terjadi dalam rumah tangga. Bisa berupa mengancam, memanggil dengan sebutan yang tidak pantas dan mempermalukan pasangan, menjelek-jelekan dan lainnya. Sebanyak 1 dari 5 perempuan yang sudah menikah pernah mengalami kekerasan emosional yakni sebesar 20,5%.
selanjutnya ada kekerasan seksual. Mungkin bagi beberapa orang terdengar aneh kekerasan seperti ini bisa terjadi dalam hubungan rumah tangga padahal keduanya sudah sah dan tak ada salahnya untuk melakukan apapun. Sebenarnya sah-sah saja asalkan tidak di bawah ancaman. Bentuk kekerasan seperti memeluk, mencium, meraba hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual dibawah ancaman. Angka kekerasan seksual dalam KDRT pada perempuan yaitu sebesar 10,6%.
Dan yang terakhir adalah kekerasan fisik. Kekerasan inilah yang diduga di alami oleh Lesti Kejora dimana sesua dengan pengakuannya, di cekik dan di banting. Nah bentuk-bentuk kekerasan fisik ini ada beberapa bentuknya seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencengkram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik lainnya.
18,3% perempuan yang sudah menikah dengan jenjang usia 15-64 tahun telah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual. Kekerasan fisik mendominasi kasus KDRT pada perempuan yaitu sebesar 12,3% dibandingkan kekerasan seksual sebesar 10,6% (SPHPN, 2016).
Dampak dari KDRT ini tidak main-main. Ada banyak dampak yang ditimbulkan dari tindak kekerasan. Tak hanya menimbulkan luka fisik, kondisi psikologis korban dan anak juga dapat terganggu di kemudian hari. Baik dampak jangka pendek hingga jangka panjang, KDRT dapat merusak kehidupan korban. Dari dosenpsikologi.com ada 5 fampak nyata akibat KDRT.
Rasa sakit karena luka pada tubuh
Dampak dari kekerasan ini bisa kita lihat secara nyata seperti terdapat bekas luka pada tubuh korban. Sayangnya, tidak banyak istri yang mau pergi untuk mendapat perawatan karena takut mendapat pertanyaan mengapa mereka mendapat luka tersebut. Kebanyakan dari mereka menganggap masalah dalam rumah tangga tidak perlu diumbar sehingga bentuk kekerasan seperti sengaja di toleransi.
Masalah ginekologis
Ini adalah masalah yang berkaitan dengan kesehatan tubuh terutama yang terkait pada organ reproduksi wanita, seperti kehamilan, kesuburan, serta masalah menstruasi dan menopause. Tindak kekerasan pada istri oleh suami menyebabkan tingkat masalah ginekologis yang lebih berat dibanding pasangan yang hidup secara normal.
Kemampuan berpikir menurun
Hal ini terjadi karena konsentrasi korban menjadi menurut. Membuat korban kesulitan berpikir secara jernih dan tidak mampu berkonsentrasi terhadap apa yang sedang dilakukan karena masalah yang ia alami sering kali dipendam sendirian sehingga terus menerus berada di kepala korban. Ini bisa menjadi awal dari munculnya masalah-masalah lainnya.
Stres dan depresi
Pada dasarnya, stres merupakan respons seseorang yang muncul karena peristiwa yang dialaminya. Apabila kondisi stres ini dirasakan terus menerus dalam waktu yang lama, korban bisa saja menjadi depresi dan kehidupan sehari-harinya menjadi terganggu. Pada alhirnya jika tidak segera di atasi, korban akan memiliki tendensi yang kuat untuk mengakhiri hidupnya.
Rasa trauma
Yang terakhir adalah timbulnya rasa trauma. Rasa trauma ini muncul karena peristiwa yang tidak menyenakan dan sangat mengganggu pikirannya. Ini berhubungan dengan faktor sebelumnya yakni stress. Gangguan stres pascatrauma biasanya menjadi gangguan mental yang muncul setelah korban mengalami peristiwa menyakitkan. Istri yang mengalami KDRT sebaiknya pergi ke psikolog atau penyedia layanan kesehatan mental lainnya untuk mengetahui kondisi yang dialami dan cara penanggulangannya.
Itu tadi beberapa bentuk dan faktor yang terjadi dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kalau ada teman Sobat Tangguh, atau bahkan Sobat Tangguh sendiri yag mengalami, tak ada salahnya mencari teman bercerita untuk meringankan beban atau mencari profesional untuk melakukan sesi konsultasi.
Penulis: Bestari Saniya