Kutub.id- Sesaat lagi bulan Ramadhan akan tiba. Di bulan ini, umat Islam yang sudah akil baligh diwajibkan untuk berpuasa. Selama sebulan penuh, kaum muslim dan Muslimah diminta berpuasa, menahan lapar dan haus sejak pagi hingga berbuka. Kewajiban ini sebenarnya amat ditunggu oleh seluruh umat Islam karena besarnya pahala yang dijanjikan Allah SWT.
Berbagai cara pun dipersiapkan agar dapat memaksimalkan ibadah di bulan yang sangat mulia ini, mulai dari menjaga kesehatan, mempelajari kembali fiqih puasa dan fadhilah yang bisa dilakukan di bulan Ramadhan. Meski begitu, kewajiban ini tidak berlaku bagi Muslimah yang sedang haid. Bahkan merupakan hal yang diharamkan dikerjakan oleh mereka.
Baca Juga: Amalan-amalan Ibadah bagi Perempuan Haid di Bulan Ramadhan
Tepat di Hari Jum’at (25/03), saya diundang menjadi pemantik dalam kajian kerohanian yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Informatika (HMIF) Universitas Siliwangi.
Dalam Kajian yang bertajuk Mempersiapkan Diri Dalam Menyambut Bulan Suci Ramadhan, banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh sebagian dari 84 peserta melalui zoom meeting, salah satunya yakni boleh atau tidaknya minum obat anti haid agar Puasa di Bulan Ramadhan tidak terganggu.
Kendati demikian, selama ini memang terdapat sebagian Muslimah yang justru merasa menyesal mengalami haid di bulan Ramadan. Bagi mereka, haid telah menghalangi kesempatan untuk beribadah, meski sebenarnya meninggalkan puasa karena haid merupakan ibadah tersendiri jika di niati karena Allah SWT.
Selain itu, belakangan ini dunia farmasi mengalami kemajuan begitu pesat. Kini, bahkan ditemukan obat yang bisa digunakan untuk memperlambat haid. Lantas, bagaimana hukum puasa akibat mengonsumsi obat perlambat haid?
Mengenai hal di atas, setidaknya saya suguhkan pendapat tiga ulama mazhab yang saya temukan, yaitu mazhab Imam Maliki, Ulama Syafi’iyah, dan Ulama Hanabilah.
Pertama, menurut kalangan Syafi’iyyah mengatakan, bahwa meminum obat untuk mencegah haid diperbolehkan asalkan tidak menimbulkan bahaya pada dirinya, seperti yang dijelaskan dalam kitab Ghooyah at-Talkhiish al-Murood 247 halaman 196, maktabah syamilah (Fiqh Syafi’iyyah).
وَفِيْ فَتَاوَى الْقَمَّاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ
“Dalam Fatawa Al Qammaath (Syeikh Muhammd ibn al Husein al Qammaath) di simpulkan diperbolehkannya menggunakan obat untuk mencegah datangnya haid.” (Ghayatut Talkhis: 196).
Kedua, Imam Maliki juga membolehkan Perempuan mengonsumsi obat untuk memutus datangnya darah haid, asal tidak membahayakan penggunanya dan atas izin suami (jika sudah nikah). Dijelaskan pula dalam kitab Al Fiqh ‘alaa Madzaahib al-Arba’ah I/103, maktabah syamilah (Fiqh Muqaarin).
مَّا أَنْ تَصُوْمَ الْحَيْضُ بِسَبَبِ دَوَاءٍ فِيْ غَيْرِ مَوْعِدِهِ فَإِنَّ الظَّاهِرَ عِنْدَهُمْ أَنَّهُ لَا يُسَمَّى حَيْضًا وَلَا تَنْقَضِيْ بِهَ عِدَّتُهَا وَهَذَا بِخِلَافِ مَا إِذَا اسْتَعْمَلَتْ دَوَاءً يَنْقَطِعُ بِهِ الْحَيْضُ فِيْ غَيْرِ وَقْتِهِ الْمُعْتَادِ فَإِنَّهُ يُعْتَبَرُ طُهْرًا وَتَنْقَضِيْ بِهِ الْعِدَّةُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَمْنَعَ حَيْضَهَا أَوْ تَسْتَعْجِلُ إِنْزَالَهُ إِذَا كَانَ ذَلِكَ يَضُرُّ صِحَّتَهَا لِأَنَّ الْمُحَافَظَةَ عَلَى الصِّحَّةِ وَاجِبَةٌ
“Kalangan Malikiyyah berpendapat: Haid adalah darah yang keluar dari alat kelamin wanita pada usia yang ia bisa hamil menurut kebiasaan umum. Bila wanita menjalani puasa akibat obat yang mencegah haid hadir dalam masanya. Menurut pendapat yang zhahir masa-masa tidak dikatakan haid dan tidak menghabiskan masa iddahnya, berbeda saat ia menjalani haid dan meminum obat untuk menghentikan haidnya diselain waktu kebiasaannya, maka ia dinyatakan suci namun iddahnya dapat terputus karena sesungguhnya tidak boleh bagi seorang wanita mencegah atau mempercepat keluarnya darah haid bila membahayakan kesehatannya karena menjaga kesehatan wajib hukumnya.” (al-Fiqhu ‘ala Madzahibil ‘Arba’ah, 1/103).
Terkahir, Ulama Hanabilah pun berpendapat sama dengan Imam Maliki dan Ulama Syafi’iyah. Menurut Ulama Hanabilah, diperbolehkan bagi wanita meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk memutus datangnya haid. Itu pun jika tidak ada efek buruk terhadap penggunanya.
Dengan demikian, saya kira dari tiga ulama mazhab ini jawabannya sudah cukup tampak, bahwa hukumnya boleh seorang Perempuan meminum obat yang bisa memutus datangnya darah haid dengan beberapa catatan, yaitu:
- Obatnya halal
- Tidak ada efek buruk bagi pengguna
- Bagi yang sudah menikah, harus atas izin suami.
Wallahu A’lam.
Ilham Abdul Jabar, Pengajar Kelas Mahasiswa Pondok Pesantren Al Hikmah Mugarsari Kota Tasikmalaya.