Oleh Siti Fatonah
[Blur]
Mau disebut gerakan hijrah maupun taubat saja atau bahkan tanpa embel-embel apa pun juga, bila menimbulkan pertikaian, itu niscaya bukanlah bagian dari kehakikian Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin dan tuntunan Rasul SAW yang diutus-Nya untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Begitu pun sebaliknya, mau disebut gerakan hijrah maupun taubat saja atau bahkan tanpa embel-embel apa pun juga, jika buahnya ke dalam diri ialah makin runduknya hati kepada semata Kemahakuasaan Allah SWT—ditandai kepatuhan syariat dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya—dan buahnya ke luar diri, orang lain dan seluruh makhlukNya, ialah kerendahan hati dan ketawadhu’an, itulah dia kehakikian iman, takwa, dan ihsan cum akhlak karimah.
Semoga niat baik semua kita untuk menuju-Nya, dalam segala keragaman jalannya, diridhai-Nya dalam samudra ampunan-Nya dan Rahman Rahim-Nya yang maha tak terpermanai.
Akhir-akhir ini istilah “hijrah” muncul dengan cukup populer. Kemudian istilah tersebut menjadi sebuah gerakan yang menghentakkan suatu dambaan sekelompok orang dan menjadi dambaan paripurna bagi perjalanan hidup seseorang. Pada dasarnya, istilah “hijrah” ini menjadi hits adalah hal yang wajar, karena bagian dari dinamika kehidupan manusia. Sejatinya, jika kita meruntun sisi histori, istilah “hijrah” muncul pada saat Nabi berimigrasi dati Mekah ke Madinah, sebagai sebuah gerakan berpindah dari keadaan yang kurang baik menuju keadaan yang lebih baik. Ada maksud untuk terciptanya masyarakat yang mampu bergerak secara dinamis dan tetap menjalankan misi ke ke-Islam-an yakni, mewujudkan keadilan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Akan tetapi, praktik hijrah hari ini, menjadi sedikit melenceng dari misi Islam tersebut. Dalam bukunya, Pak Edi menggambarkan fenomena “hijrah” hari ini menyebar pada ranah yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai Islami, yang melenceng dari Khittah Islam itu sendiri sebagai agama yang Rahmatan Ll ‘Alamin.
Lebih lanjut, Pak Edi menyebutkan bahwa perilaku “hijrah” hari ini yang melemparkan pada kemegahan dunia yang telah mapan atas nama Islam yang hakiki dan menyebutkan bahwa berada dalam hidup derita merupakan status mukmin yang sejati. Padalah, hal tersebut bukanlah parameter tunggal bagi ke-Kaffah-an iman dan takwa (halaman:207). Lebih lanjut, dalam raktek “hijrah” hari ini, tidak sedikit ditemukan fenomena bahwa pemahaman dan aplikasi yang salah pada konsep ammar ma’ruf nahi munkar atas perilaku diri, kemudian dengan mudahnya mengkafirkan seseorang lantara tidak sepaham degan dirinya. Padahal, yang perlu digaris bawahi dan diingat kembali bersama. Bahwa perbedaan merupakan sebuah keniscayaan dan berselisih merupakan sebuah pilihan. Jadi, tidak selamanya perbedaan itu harus disikapi dengan perselisihan apalagi dengan pertengkaran, perpecahan dan permusuhan.
Manusia yang hanya pemeran skenario Tuhan sungguh tidak pantas mengklaim otoritas Tuhan sebagai penentu baik buruk (hlm:15). Lebih lanjut, Pak Edi menyebutkan bahwa ammar ma’ruf nahi munkar mengandung amanat luhur yang terspesialisasikah hanya untuk sebagian mukmin yang memiliki kualitas dan kapabilitas serta hak hukum semacam ulil amri dan para ahli ilmu (ulama), serta mampu bersikap ma’ruf (tidak memicu perpecahan dan permusuhan) dalam menjalankannya. (halaman: 226). Maka, kecongkakan memproklamirkan diri dan merasa paling pantas sendiri untuk selalu di depan namun berujung kegaduhan sungguh sama sekali dilarang.
Hal tersebut lahir karena ekspresi hijrah yang salah adalah dominasi laku lahiriah dan pengabaian terhadap laku rohaniah. Lebih lanjutnya, Pak Edi menyebutkan ada tiga parameter untuk menakar kualitas rohani diri. Pertama, iman dengan penuh seluruh bahwa Allah yang Satu hanya satu-satunya. Kedua, takwa, ekspresi iman yang direpresentasikan dalam kepatuhan atas syari’at. Ketiga, akhlak karimah, buah sosial dari iman dan takwa yang teradaptasi dalam relasi yang bukan hanya antar umat Islam tetapi juga antar manusia. (halaman: 200).
Kedalaman ilmu, iman dan takwa akan terpancar dalam kehidupan sehari-hari yang menerima serta mendudukkan perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, sedangkan perilaku barbar yang berlabel Islam adalah cerminan terkikisnya keimanan seseorang.
Dalam buku ini pun, Pak Edi mengingatkan kita semua untuk memiliki seorang guru yang berperan sebagai pendamping, pencerah, pengoreksi dalam setiap amaliyah yang dijalani. Tentunya trend hijrah hari ini pun harus diikuti dengan kemampuan memfilter guru atau pembimbing rohani. Seorang guru yang kapabilitas dan spirit cinta serta kebijaksanaan. Lahir dari Rahim kedalaman dan keluaran ilmu dari satu sisi dan kejernihan rohani yang terang benderang yang tidak dengan mudahnya meng-klaim benar-benaran atas dirinya sendiri dan menganggap orang yang berbeda sebagai sebuah kesalahan.
Buku ini sangat cocok dibaca oleh semua kalangan, karena dikemas dengan bahasa yang ringan dan kita pun sebagai pembaca disuguhkan dengan berbagai kisah dijamin nabi maupun keadaan hari ini. Untuk yang sedang mengalami fase “hijrah” pun sangat disarankan membaca buku ini.
Selanjutnya ada kutipan yang saya suka dari buku ini, sebagai pengingat untuk kita semua.
“Dulu, sebelum hijrah dia jauh dari Tuhan, setelah hijrah dia menjadi Tuhan”.
“Dulu, sebelum hijrah ia berlumur dosa, setelah hijrah, orang lainlah yang berlumur dosa”.
“Dulu, sebelum hijrah ia patuh pada orang tuanya, setelah hijrah, orang tuanyalah yang harus patuh padanya.”
Tulisan ini diresensi dari buku karya Edi AH Iyubenu berjudul Masak Hijrah Begitu?