Kamis, Oktober 5, 2023

Ibu Inggit, Dulu dan Sekarang

Kutub.id – Ketika dilahirkan, ayah-bundanya memberinya nama Garnasih. Kemudian, bayi mungil itu tumbuh menjadi gadis kecil yang manis dan menawan hati. Pembawaannya disukai oleh semua orang dan dia juga murah rezeki. Setiap orang yang melihatnya, selalu tertarik untuk memberinya hadiah. Kebanyakan hadiah yang diterimanya itu berupa mata uang ringgit.

Karena seringnya ia mendapat hadiah uang ringgit, akhirnya ia memperoleh nama julukan “Inggit” dari keluarganya. Sampai sekarang ia dikenal dengan nama Inggit Garnasih, wanita yang menjadi pendamping setia Bung Karno dalam masa perjuangan kemerdekaan.

Dalam usianya yang sudah lanjut, Ibu Inggit masih mempunyai ingatan yang kaut tentang pengalamannya di masa muda. Namun berapa usianya yang tepat, memang kurang jelas. Dalam kartu penduduknya, tanggal lahirnya tercatat 17 Februari 1888 di Bandung. Menurut perhitungan Ibu Inggit sendiri, usianya kini 95 tahun. Tapi Bung Karno pernah menyatakan, Ibu Inggit berusia 53 tahun pada tahun 1941. Berarti, tahun ini usianya tepat 92 tahun.

Cucu Ibu Inggit dari anak-angkatnya, Ratna Djuami yang menikah dengan Asmarahadi, ada delapan orang. Buyutnya sudah 12 orang. Oleh cucunya, sehari-hari Ibu Inggit dipanggil dengan nama kesayangan “Neng” dan buyutnya memanggilnya dengan “Uu”. Sedangkan Ratna memanggilnya dengan nama kesayangan “Ai”.

Orang tuanya keturunan Banjaran, Kabupaten Bandung. Tepatnya dari Kampung Kamasan. Ayahnya bernama Jipan, meninggal ketika Ibu Inggit berusia 14 tahun. Ibunya bernama Amsi, wanita sederhana yang sangat disayangi oleh Bung Karno. Ibu Amsi meninggal tahun 1935 di Endeh, ketika menyertai Bung Karno dan Ibu Inggit menjalani masa pembuangannya di sana.

Sebagai anak bungsu, Ibu Inggit sangat dikasihi keluarganya. Kakaknya dua orang. Yang tertua laki-laki bernama M. Nata, dan yang kedua bernama Muntarsih. Keduanya sudah meninggal dunia.

Kini Ibu Inggit tinggal bersama dengan Ny. Irah (67 tahun), keponakannya yang telah mengawaninya sejak tahun 1946, serta Ikah (45 tahun) yang juga masih familinya. Hidup Ibu Inggit cukup sederhana. Bahkan ia harus tetap bekerja membuat dan berdagang bedak serta jamu untuk menambah-nambah penghasilannya setiap bulan.

“Bunga Kota Bandung”

Berbicara dengan Ibu Inggit, orang akan mendapat kesan ia wanita yang tegas, tabah dan kuat hati. “Sudahlah, apalagi yang mau diceritakan dari diri Ibu. Kini Ibu sudah tua, penglihatan sudah kurang awas. Bila ada orang yang bisa mengembalikan penglihatan Ibu, baru boleh bicara,” ujarnya mengawali pembicaraannya dengan Kompas ketika mengunjunginya di rumahnya di Jalan Ciateul, Bandung.

Namun cerita tentang dirinya selalu menarik, Ibu Inggit sendiri masih lancar menceritakan bagian-bagian pengalamannya yang menarik dan mengesankan tentang masa-masa ia mendampingi Bung Karno. Suaranya jelas dan ingatannya masih kuat.

Setiap orang yang mengenal Ibu Inggit di masa mudanya, selalu terkesan akan kecantikannya. Bahkan orang bilang, tempo doeloe dia pernah dijuluki “Bunga Kota Bandung”. Kulit wajahnya halus dan bercahaya, selalu dirawatnya dengan bedak dan jamu buatannya sendiri. Bekas-bekas kecantikan di masa mudanya masih terbayang di wajahnya.

Daya tariknya memang sangat kuat. Bukan hanya kaum pria yang terpikat, tapi juga para wanita yang mengenalnya. Ibu Inggit bercerita tentang isteri Sultan Deli yang sangat tertarik kepadanya.

Menurut cerita Ibu Inggit, sekitar tahun 1914 ia bertamasya ke Tanah Deli dengan suaminya yang pertama, H. Sanoesi. Di sana ia sempat berkenalan dengan isteri Sultan Deli, yang kemudian menjadi sangat tertarik kepadanya. Bahkan ketika Ibu Ingit pulang ke Bandung, karena rindunya isteri Sultan itu mengutus seorang jurupotret untuk mengambil foto Ibu Inggit. “Kata orang, potret itu selalu dipandangi dan dipeluk-peluk bila dia rindu kepada saya,” tutur Ibu Inggit sambil tertawa mengenang masa lalu.

Kecantikan itu juga yang menggetarkan hati Soekarno, ketika mula pertama mereka bertemu tahun 1921 di rumah H. Sanoesi di Bandung. Waktu itu Bung Karno masih berusia 20 tahun dan Inggit sekitar 33 tahun.

Cinta pada pandangan pertama itu berlanjut dengan pernikahan. “Saya telah dicerai oleh H. Sanoesi, ketika menikah dengan Koesno tahun 1923,”kata Ibu Inggit. Dia selalu memanggil Bung Karno dengan nama kecilnya, Koesno.

Menurut Ibu Inggit, mereka hidup berbahagia meski secara materi sangat jauh berbeda bila dibanding dengan kehidupannya selama menjadi isteri H. Sanoesi, saudagar kaya. “Masa dengan H. Sanoesi penuh dengan ‘plesiran’, sedangkan dengan Soekarno masa prihatin yang penuh dengan perjuangan,” ujarnya.

Ibu Inggit yang keluaran Madrasah, cepat menyesuaikan diri dengan kehidupan, cita-cita dan jalan fikiran suaminya yang sedang berkembang menjadi calon pemimpin bangsa.

Bagi Bung Karno, Ibu Inggit adalah sumber ilhamnya, pendorong dan pemberi semangat di kala dibutuhkan. Di samping itu, Inggit juga berperan sebagai ibu, isteri dan kekasih baginya. Dengan Inggit berada di sisinya, ia melangkah maju memenuhi panggilan cita-citanya.

Terpaksa puasa

Ibu Inggit dapat berbicara berjam-jam tentang masa perjuangan. Meskipun tahun-tahun kejadian mungkin kurang tepat, namun semua pengalamannya masih jelas diingatnya.

“Bung Karno datang ke Bandung untuk melanjutkan sekolahnya di Sekolah Tinggi Teknik,” kata Ibu Inggit. Dan ia berhasil memperoleh gelar Insinyur tahun 1926. Tahun-tahun berikutnya, adalah masa perjuangan yang banyak meninggalkan kesan bagi Ibu Inggit.

Masih jelas dalam ingatannya ketika bung Karno pertama kali ditahan Belanda setelah ditangkap di Sala. Padahal sebelum Bung Karno pergi ke Sala untuk menghadiri rapat partai, Ibu Inggit sudah mendapat firasat buruk. Berkali-kali ia bermimpi didatangi reserse ke rumahnya dan menggeledah seluruh rumah. Akhir Desember 1929 Bung Karno ditangkap di Sala dan dibawa ke Bandung untuk disekap dan di penjara Banceuy.            

Suatu hari ketika menengok Bung Karno di penjara, Ibu Inggit diminta Bung Karno membawakannya buku tentang hukum, yang harus dipinjam dari Mr. Sartono. Buku itu dibutuhkan Bung Karno dalam rangka menyusun pembelaannya di muka pengadilan.

Ibu Inggit sudah tidak ingat lagi nama buku yang diselundupkannya ke penjara itu. “Ibu sengaja berpuasa dua hari, agar perut menajdi kemps dan buku itu dapat diselipkan di bawah setagen,” tuturnya. Dengan berbekal keberanian, ia berhasil menipu pengawas sehingga buku itu sampai ke tangan Bung Karno.

Selama Bung Karno dalam tahanan, Ibu Inggit harus berjuang untuk mengatasi berbagai kesulitan, terutama kesulitan keuangan. Meskipun ada bantuan dari kawan-kawan seperjuangan, tapi Ibu Inggit harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. “Tanggungan Ibu waktu itu ada 24 orang,” ujarnya. Ia berusaha dengan berdagang bedak dan jamu buatannya sendiri. Dagangannya cukup laku, karena orang percaya kedua barang itulah kunci rahasia kecantikannya.

Setelah pengadilan atas diri Bung Karno selesai, ia dijatuhi hukuman penjara empat tahun. tapi hukuman itu hanya dijalani selama dua tahun di penjara Sukamiskin Bandung. Di penjara itu, Ibu Inggit diizinkan menengok Bung Karno dua kali seminggu.

Suatu kali ketika ditengok, Bung Karno mengatakan perlu uang 600 gulden. “Uang itu akan dibagikan kepada para penjaga penjara, agar ia mendapat kelonggaran dan bantuan dari mereka,” ujar Ibu Inggit.

Permintaan itu benar-benar memusingkan kepala Ibu Inggit, karena surat kabar, buku-buku dan uang terlarang dibawa ke penjara.

“Semalaman Ibu tidak tidur memikirkan bagaimana caranya menyelundupkan uang itu. Menjelang subuh, barulah ada ilham,” tuturnya. Pagi harinya, segera menyuruh orang membeli tepung, pisan dan daun, ia akan membuat nagasari yang akan dijadikan alat untuk menyelundupkan uang tersebut. Ia lupa berapa banyak nagasari yang dibuatnya. Namun semua uang yang diminta Bung Karno dapat disisipkan dalam irisan pisang nagasari.

Waktu menengok, kue itu diletakkannya ke hadapan pengawas sebelum pengawas penjara mendahului memeriksa. Pengawas itu jadi percaya dan kue itu diizinkan diberikan kepada Bung Karno. Kepada Bung Karno, Ibu Inggit berpesan: “Kus, kue ini jangan dibagikan kepada orang lain, ya. Untuk Kus seorang, buat menahan lapar kalau malam,” itu pesan Ibu Inggit yang sebetulnya merupakan kode bagi Bung Karno.

Setiap kali menengok Bung Karno, Ibu Inggit selalu jengkel kepada reserse yang ikut hadir mendengar apa yang mereka bicarakan. Sedikitnya ada tiga reserse, duduk bersama mereka dan berdiri di dekat pintu. “Yang boleh dibicarakan hanya tentang keadaan keluarga saja. Bahasanya harus bahasa Indonesia atau Belanda,” kata Ibu Inggit.

Yang paling dibenci Ibu Inggit, yaitu seorang reserse yang selalu duduk atau berdiri di dekat pintu dan berkacamata hitam. Menurut perkiraan Ibu Inggit, reserse itu yang paling teliti mengawasi gerak-gerik Bung Karno dan dirinya. Bahkan kaki di bawah meja rasanya terus diawasi. Lama-kelamaan Ibu Inggit jadi penasaran, benarkah orang itu begitu patuh terus mengawasi mereka. Padahal pengawas yang lain sudah tidak angker lagi dan mau ikut ngobrol dengan mereka.

Di rumah ia berpikir, bagaimana caranya dapat melihat wajah orang itu dari dekat. Diperolehnya akal, yakni makan sirih selama menengok Bung Karno. “Tuan, akrena saya makan sirih, izinkan saya keluar masuk membuang ludah,” ujarnya kepada pengawas penjara. Pengawas mengizinkannya. Setiap kaliia keluar masuk sel, diperhatikannya reserse yang duduk di dkeat pintu. Ternyata tidak terlalu lama, orang itu sudah tertidur; tapi karena berkacamata hitam, ulahnya itu jadi tidak kelihatan. “Sejak itu Ibu tidak takut diperhatikan, bila perlu menyampaikan pesan atau kode kepada Bung Karno, jadi mudah mencari kesempatannya,” kata Ibu Inggit sambil tertawa.

“Bahasa Chapplin”

Sekeluar dari penjara Sukamiskin, Bung Karno giat lagi melakukan gerakan-gerakan melawan Belanda. Karena itu, baru delapan bulan ia “di luar”, dia ditahan lagi. Kali ini bukan hanya dipenjarakan, tapi dibuang ke luar Jawa. Ibu Inggit mendampingi Bung Karno ke tempat pembuangannya di Endeh (Flores). Ibu Amsi, ibunya, juga ikut menyertai mereka.

Pertama kali datang di Endeh, sangat sukar berhubungan dengan penduduk setempat. Bahasa menambah kesulitan untuk berkomunikasi. Keadaan itu sangat menyusahkan Ibu Inggit. Padahal setiap hari ia harus berhubungan dengan mereka. Terutama bila ia harus berbelanja ke pasar, kaum wanita di sana pada waktu itu tidak ada satu pun yang bisa berbahasa Indonesia.

“Harus ada jalan keluarnya,” pikir Ibu Inggit. Akhirnya ia mendapat ilham, ketika ia ingat adegan film Charlie Chapplin. Ia membayangkan tingkah Chapplin yang selalu daapt membangkitkan tertawa orang. “Mengapa tidak dengan bahasa Chapplin saja,” pikirnya. Sejak itu, kalau berbelanja di pasar, digunakannya ‘bahasa Chapplin’.

Rupanya bahasa gerak-tangan dan mimik muka itu dapat memperlancar hubungannya dengan masyarakat setempat. Rumahnya mulai banyak dikunjungi orang.

“Cara tawar-menawar dengan pedagang, Ibu lakukan dengan jalan memperlihatkan uang sambil memegang barang yang Ibu inginkan. Bila harganya atau uangnya dianggap kurang, pedagang tersebut menggeleng-gelengkan kepala. Ibu tambah uangnya, bila dia setuju dia mengangguk dan barang Ibu ambil,” tuturnya.

Waktu pertama kali datang ke Endeh, Bung Karno pernah merasa frustasi. Namun Ibu Inggit selalu meyakinkan bahwa ia percaya benar, suatu hari kelak Bung Karno akan menjadi orang yang memegang peranan penting, akan menjadi pemimpin bangsa.

Betapapun beratnya masa pembuangan itu, Ibu Inggit tidak pernah mengeluh. Kemalangan, kesedihan dan kesulitan silih-berganti, tapi dapat diatasi Ibu Inggit dengan hati tabah.

Dari Endeh mereka dipindahkan ke Bengkulu. Di tempat yang baru ini, Ibu Inggit bisa lebih mudah bergaul dengan wanita setempat. Di sana mereka membuka usaha kecil-kecilan dengan berjualan. Yang dijualnya terutama pakaian yang bahannya didatangkan dari Bandung. Selain itu Ibu Ingit menjahit dan menyediakan baju pengantin. “Banyak anak Demang yang menikah, memakai pakaian pengantin dan bedak buatan Ibu,” katanya.

Nasibnya Berubah

Ketika di Bengkulu anak-angkatnya, Ratna Djuami, sudah gadis remaja berusia sekitar 16 tahun. Dengan maksud agar Ratna mempunyai teman, Fatmawati diundang tinggal bersama mereka. Ratna dan Fatma bersekolah di Vak School di Bengkulu. Ratna lulus tahun 1941, lalu dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolahnya di pendidikan BI.

Tahun 1941, Jepang menyerang Indonesia. Bung Karno sekeluarga dilarikan Belanda dari Bengkulu ke Padang. Perjalanan ke Padang sangat sulit, berhari-hari menembus hutan rimab dan menyeberangi sungai. Masih teringat oleh Ibu Inggit, bagaimana onak duri dan ranting kayu menggores kakinya.

“Monyet di dalam hutan yang kami lalui, besarnya hampir sama dengan manusia. Binatang lain pun banyak sekali. Tapi Alhamdulillah,   tidak satupun yang mengganggu iring-iringan kami,” katanya.

Mereka sampai dengan selamat di Padang. Waktu itu Jepang sudah berhasil mengalahkan Belanda. Mereka dilepas begitu saja, kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta. Di Jakarta nasib Ibu Inggit mulai berubah, sesudah lebih kurang 19 tahun 91 mendampingi Soekarno. Takdir menentukan ia harus berpisah dari orang yang dicintainya. Namun tidak banyak yang diceritakan Ibu Inggit, tentang proses perceraiannya dengan Soekarno. “Ibu menerima semuanya. Itu sudah ditentukan oleh Tuhan,” tuturnya.

Dari Jakarta, ia kembali ke Bandung sekitar tahun 1943. Kepada semua orang yang menanyakan perihalnya, ia mengatakan ia ingin beristirahat. “Perceraian kami diumumkan oleh Bung Karno sendiri,” kata Ibu Inggit.

Untuk mengisi kesepiannya, Ibu Inggit kembali mengurus bedak dan jamunya. Dan karena tuntutan kebutuhan, bedak dan jamu itu dijualnya. Produksinya yang paling terkenal yaitu bedak kasai, bedak Pancasila, Puder, bedak sariawan dan jamu beras-kencur. “Usaha ini bukan sekadar untuk mencari uang, tapi merupakan jembatan agar masyarakat berani menemui dan berkunjung kepada Ibu,” katanya. Memang tamunya selalu penuh setiap hari.

Mendengar Ibu Inggit sakit, minggu-minggu terakhir ini tamunya bertambah banyak. Dokter yang merawatnya terpaksa menempelkan pengumuman di depan pintu kamarnya “Harus banyak istirahat, tidak boleh diganggu”. Tapi pengumuman itu selalu dilanggar. Tiap hari ada saja tamu yang datang. Padahal menurut pengakuan Ibu Inggit, badan dan kakinya terasa lemas. Matanya sudah kabur, dan dia tidak dapat duduk lama-lama.

Menurut Ny. Etty Tito, salah seorang cucunya yang merawat Ibu Inggit, pendengaran dan penglihatan Ibu Inggit mulai mundur sejak delapan bulan terakhir. Ia harus banyak beristirahat dan tidak boleh duduk atau berdiri terlalu lama. Ke kamar mandi harus dibantu orang, agar tidak jatuh.

“Minggu lalu, Ibu Inggit pernah jatuh ketika berusaha ke kamar mandi sendiri. Untung tidak berakibat apa-apa,” kata Etty.

Tahun 1978, Ibu Inggit dua kali dioperasi oleh dr.Soegana Tjakrasoedjatma (seorang ahli mata terkenal di Bandung), karena menderita glaukom atau tekanan mata tingi dan katarak atau rabun mata. Setelah operasi glaukom, tekanan mata normal. Tapi setelah operasi katarak, perbaikan penglihatannya hanya sedikit, hanya cukup untuk bergerak di dalam rumah.

“November 1979, Ibu Inggit mengeluh nyeri pada mata kirinya,” kata dr. Soegana kepada Kompas. Ternyata terdapat kerusakan mata total, hingga mata itu tidak dapat melihat lagi. Dari gejalanya, diperkirakan karena kekurangan vitamin A. “Hal ini kemungkinan besar karena Ibu Inggit banyak berpantang makanan,” katanya.

Keadaan fisiknya secara umum cukup baik, lebih-lebih bila dibandingkan dengan orang seumur dia. Menurut dr. Eko Antono yang merawat kesehatan umum Ibu Inggit sejak delapan bulan yang lalu, saat ini Ibu Inggit dalam keadaan tenang. Fisiknya terganggu karena ketuaannya saja, yaitu akibat pengerasan pada pembuluh darahyang mengakibatkan fungsi organnya berkurang. Sekitar sebulan yang lalu Ibu Inggit pernah hampir lumpuh, akibat serangan thrombosis ringan di otak. Dokter Eko memeriksa Ibu Inggit secara rutin setiap hari Sabtu. “Yang penting, Ibu Inggit harus banyak istirahat,” katanya.

Banyak Perhatian

Akhir-akhir ini, mulai banyak perhatian yang diberikan kepadanya. Bahkan Ibu Fatmawati yang telah 38 tahun tidak bertemu dengan Ibu Inggit, awal Februari lalu datang berkunjung bersama Guntur dan isterinya, Megawati dengan suaminya, didampingi Ali Sadikin dan istri. “Untung Ibu masih hidup,” kata Ibu Inggit mengomentari pertemuannya dengan Fatmawati. Menurut Ibu Inggit, rasa sayangnya kepada Ibu Fat masih seperti dulu ketika Fatmawati masih gadis kecil.

Perhatian Ibu Wardoyo, kakak Bung Karno, juga tidak pernah terputus. Waktu Kompas berkunjung, Ibu Inggit baru saja menerima kiriman dari keluarga Bung Karno di Blitar.

“Ibu ini dari kecil selalu kebanjiran hadiah, sampai setua ini ada saja orang yang ingat memberi 1 hadiah pada Ibu,” ujar Ibu Inggit. Karena itu dia tidak pernah membeli pakaian sendiri, setiap bulan ada saja yang mengiriminya bahan pakaian. “Susah untuk mengetahui warna pakaian yang disukainya, karena semua warna pakainnya sudah diatur oleh yang member,” ujar Irah, keponakannya.

Tiga bulan yang lalu, ia menerima bantuan dari Gubernur Jabar, A. Kunaefi. Isi kamarnya diganti dengan perlengkapan baru: dua lemari pakaian, satu tempat tidur dan kaca hias. Juga tirai-tirai di rumahnya diganti baru. Selain itu, rumahnya di bagian belakang diperbaiki. Sedangkan bantuan rutin yang setiap bulan diterimanya sebagai “Perintis Kemerdekaan”, besarnya Rp50.000,-.

Ibu Inggit pendamping setia Bung Karno, yang selalu member semangat dan dorongan kepada Bung Karno di masa perjuangan, yang ikut merasakan pahit getirnya masa pembuangan, kini menjalankan masa tuanya dengan penuh keprihatinan dan kesederhanaan. “Tidak apa, cita-cita pokok dalam hidup saya yaitu mengalami Indonesia merdeka. Itu sudah teralami dan sangat membahagiakan,” katanya dengan suara penuh kesungguhan.

Sumber: Ditulis oleh Yurinda Hidayat, Harian Kompas, 1979 dalam bentuk kliping. Kliping dibukukan dan disusun menjadi buku Kisah-kisah Istimewa Inggit Garnasih (Deni Rachman, ProPublic.info, 2020).

Baca Juga

Stay Connected

0FansSuka
20PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles