Kamis, Oktober 5, 2023

Identitas dan keimanan: Cerita Kehidupan Queer di Sekolah Islam 

Kutub.id – Queer dan keimanan seringkali dianggap bertolak belakang. Plannedparenthood mengartikan queer sebagai kata yang mendeskripsikan identitas selain straight dan cisgender. Nah, gimana jadinya jika seorang queer bersekolah di sekolah Islam? Yuk simak kisahnya dibawah ini.

Kisah Fahrul, Si Mahasiswa Berpengaruh di Kampus

Fahrul (bukan nama asli) adalah seorang lelaki berusia 22 tahun yang kini bersekolah di institusi agama di Bandung. Siswa semester 7 tersebut pertama kali merasa dirinya berbeda sejak menginjak sekolah menengah pertama. 

Dari kecil sudah merasa tertarik dengan sesama gender, Fahrul mengalami puncaknya saat ia bermimpi basah untuk pertama kalinya dengan lelaki. Pengalaman itu menegaskan identitasnya sebagai seorang queer. 

Walaupun sudah lama merasa berbeda, Fahrul baru menerima dirinya saat pertama kali memasuki bangku kuliah. Ia senang karena bertemu dengan orang-orang yang sama dengannya dan akhirnya menerima diri seutuhnya sejak saat itu.

Menurutnya, identitas dia sebagai queer tidak mendefinisikan keimanannya. Baginya kepercayaan adalah sesuatu yang merupakan hak bagi semua manusia. 

Dia percaya Tuhannya adalah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang tidak mungkin meninggalkan umatnya hanya karena identitas. “Saya yakin Tuhan saya Bismillahirrahmanirrahim.” Tegas Fahrul.

Saat ditanyai mengenai keimanannya sebelum dan sesudah dia menerima dirinya, dia berkata bahwa tidak ada perubahan berarti yang dia rasakan dari segi keimanan. Adapun naik dan turun iman itu adalah hal yang biasa. 

Menurutnya, keimanan seseorang itu pasti ada naik dan turunnya. Tapi naik turunnya iman seseorang tidak dipengaruhi oleh identitasnya. “Gak, gak ada hubungannya sama yang dua itu.” Tegasnya lagi.

Selain sibuk berkuliah, Fahrul juga sibuk dalam urusan kepemimpinan Badan Eksekutif Mahasiswa di kampusnya yang menjadikannya cukup berpengaruh di jurusannya. 

Keaktifannya di berbagai organisasi tersebut, membuat dia memiliki banyak teman dari berbagai kalangan. Tak bisa dipungkiri, ada pula yang menakut-nakutinya mengenai siksa neraka dengan tafsir-tafsir mengenai kaum Sodom padanya.

Tapi, menurut sepengetahuan dan sepemahaman dia, yang membedakan komunitas queer sekarang dan Kaum Sodom adalah adanya konsen atau perijinan. “Kaum Sodom mah ga ada konsen jadi seenaknya.” Katanya. 

Dapat disimpulkan dari ungkapan dia bahwa jika konsen diterapkan pada Kaum Sodom, maka praktek hubungan sesama jenis mungkin merupakan sesuatu yang diperbolehkan atau sah-sah saja. 

Saat ditanya apakah nyaman bersekolah di institut keagamaan, Fahrul menjawab bahwa selama ini ia merasa nyaman-nyaman saja karena tidak pernah mendapatkan serangan fisik secara langsung. 

Fahrul yang kini sedang menyusun tugas akhirnya telah melela pada teman-teman dekatnya. Sebelum melela, dia memastikan bahwa teman-teman tersebut bukanlah teman yang mungkin berbalik dan menjauhinya setelah tau dia berbeda. 

Hingga kini, dia dan teman-temannya masih awet bercengkrama tanpa ada satupun yang berpaling dan balik menghujatnya. Menurutnya, kunci dari hidup nyaman adalah pintar-pintar bergaul yang tidak ada hubungannya dengan identitas.

“Kalau dirasa lingkungannya agak homofobik ya pintar-pintar sembunyiin, kalau di teman-teman yang saya sebutnya open minded itu ya baru bisa bebas” kata Fahrul saat ditanya mengenai pertemanannya. 

Di akhir wawancara dengan tim Kutub.id, Fahrul menyarankan tim kami untuk membaca tafsir-tafsir yang ramah gender dari ulama-ulama yang pro LGBTQ+ untuk menambah ilmu terkait penerimaan keimanan dan queerness.

Cerita Razi, Lelaki dengan Kelenjar berlebih di Payudara

Berbeda dengan Fahrul, Razi (bukan nama sebenarnya) yang kini berusia 24 tahun bukanlah seseorang yang aktif di kegiatan kampus. 

Kalau digolongkan, dia adalah tipe mahasiswa yang kupu-kupu atau kuliah pulang-kuliah pulang, atau bisa juga digolongkan sebagai kuma-kuma, kuliah main-kuliah main. 

Sama seperti Fahrul, Razi juga sedang menyusun tugas akhir. Bedanya, kini dia berada di bangku perkuliahan semester sepuluh sembari menunggu jadwal sidangnya. 

Sedari kecil, Razi sudah merasa dirinya berbeda. Apalagi dengan penampilan dirinya yang secara fisik berbeda dari anak-anak seusianya. Razi memiliki kelenjar berlebih di dadanya yang menjadikan itu terlihat seperti payudara kecil. 

Penampilan fisiknya membuat dia sangat menolak keadaan dirinya sendiri. Apalagi pada satu saat ketika dia dan teman sebaya serta kakaknya bermain bola. Dia yang tidak terlalu ahli dalam permainan fisik mendapat hukuman untuk buka baju. 

Dia dengan kelenjar di dadanya ditertawakan oleh banyak orang. Alih-alih membantu atau menolongnya, kakaknya diam saja yang membuat dia semakin merasakan sakit hati. 

Pengalaman tidak menyenangkan itu tidak menjadikan dia larut dalam kesedihan. Razi mengasah kemampuannya di bidang lain, yaitu tari. Hal ini dibuktikan dengan ikutnya Razi pada perlombaan-perlombaan tari pada saat sekolah menengah atas. 

Sejak Sekolah Menengah Atas pula, dia mulai menerima kondisinya yang berbeda. Penampilan fisiknya setelah menerima diri itu berubah menjadi bebas memakai apapun sesuai kepercayaan dirinya. “Yang aku pake itu pede aja” tambahnya.

Tak jarang dia memakai pakaian dengan warna mencolok seperti pink dan juga memakai celana pendek yang menurut dia, jarang lelaki biasa pakai. “Mau pakai baju pink, pastel, karena menurut aku warna itu ga nentuin gender, atau misalnya pakaian itu ga nentuin gender” Pungkasnya. 

Menurutnya, identitas queer itu tidak menjadikan seseorang menjadi tidak beragama. “Tergantung sih, kayak kalian menerima bahwa kalian itu banyak lakuin dosa … kalau di Islam itu udah pasti ngelanggar … makanya aku harus banyakin solat buat nutupin dosa-dosa itu.” Jelasnya.

Baginya, Tuhannya tidak pernah meninggalkannya meskipun dia beridentitas queer. Tuhannya sering mengingatkannya ketika dia berbuat salah. Itu adalah cara Tuhan agar dirinya bisa menjadi lebih dekat kepada-Nya. 

Caranya bisa melalui munculnya iklan atau trending mengenai sesuatu atau bisa juga berupa kejadian yang menimpa seseorang yang sesuai dengan kondisi dia adalah beberapa cara Tuhannya mengingatkan dirinya ketika dia berbuat salah.

Sekolah di institusi keagamaan membuat dia sedikit takut identitasnya diketahui orang lain. “Tidak bisa dipungkiri yah,” ucapnya. Namun, hal itu juga menguatkan imannya karena berada di sekeliling orang yang memiliki sisi rohani kuat.

Dia pun tak sungkan untuk melela pada teman-teman dekatnya. Pertimbangannya adalah apakah dia akan jijik atau tidak ketika coming out pada dia. “Ya menurut aku sih, kalau kamu siap ambil resiko, kenapa ga?” Tegasnya. 

Pengalaman paling berkesannya adalah ketika dia melela kepada temannya yang cis-hetero. Ketakutan akan ditinggalkan tidak terwujud. “Temen aku nerima aku apa adanya, dia ga peduliin orientasi seksual.” Ungkapnya.  

Temannya tidak mengurusi orientasi ataupun identitas seseorang dan yang menjadikan temannya berubah itu jika sudah berhubungan dengan kriminal. “Kalau berbuat kriminal baru bermasalah,” katanya.

Tanggapan Teman

Budi adalah teman Razi sejak awal masuk kuliah. Lelaki 24 tahun tersebut pertama kali mendapat pengakuan dari Razi sekitar 2 tahun lalu. Tidak ada perubahan berarti setelah pengakuan tersebut.

Yang berubah hanyalah tingkat cemburunya ketika Razi berbincang dengan kekasihnya yang juga merupakan sahabat Razi. “Jadi ga cemburu lagi setelah tau” ungkapnya. 

Baginya, seperti yang dikatakan Razi, selama tidak melakukan kejahatan tidak ada yang patut mendapatkan diskriminasi ataupun “dijauhi”. “Tidak melakukan kejahatan pada orang lain ya tidak masalah,” katanya.

Ketika ditanyai mengenai keimanan dan queer, dia mengungkapkan selama dia percaya pada rukun iman yang 6 maka dia sama saja. Begitu pula apa yang dirasakan Ika, perempuan 22 tahun yang merupakan sahabat Fachrul.

Baginya keimanan tidak ditentukan oleh identitas diri mereka. Apalagi mengingat Fachrul yang sangat taat pada perintah Tuhannya. “Luarnya Fachrul ya bagus, semuanya dijalankan, kewajibannya yang sesuainya.” Katanya.

Menurut Ika, Fachrul merupakan teman terbaik baginya yang sudah berteman dari semester 1 hingga kini. Tidak ada perubahan sama sekali ketika Fachrul sudah melela padanya. “Ika merasanya tuh gak ada ya, ngeliat Fachrul ya Fachrul aja gitu.” tambahnya.

Tanggapan Tokoh Agama mengenai Kelompok Queer

Penolakan terhadap kelompok Queer seringkali datang dari tokoh keagamaan. Tidak sedikit tokoh agama yang menolak adanya kelompok Queer. Oleh karenanya, sangat dibutuhkan penjelasan mengenainya dalam kajian agama. 

Padahal, identitas seseorang tidak sekonyong-konyong menjadikannya tuna agama. Stigma mengenai kepercayaan di lingkup queer menjadikan tidak sedikit orang mempertanyakan keimanannya saat pertama kali menerima identitas queernya. 

Begitu pula yang dirasakan Amar Alfikar, seorang transpria Muslim, seperti yang diceritakannya pada kanal youtube Menjadi Manusia. Menangkal stigma itu, Amar berkata, “setiap manusia itu setara, [mereka] memiliki pergumulan masing-masing. Setiap manusia itu memiliki pengalaman spiritualnya masing-masing dan bukan tugas manusia menilai pengalaman spiritual orang itu.”

Aan Anshori, seorang pegiat Gusdurian Jombang menanggapi fenomena ini dengan ramah queer. Saat ditanyai apakah seorang queer secara otomatis menjadi tuna agama karena identitasnya, beliau menanggapi bahwa itu tidak benar.

“ah, Enggak, secara faktual kan ya teman-temanku yang queer itu KTP mereka beragama, secara formal mereka beragama.” Jelasnya. Adanya anggapan tersebut itu dikarenakan ada narasi yang dihembuskan oleh sekelompok orang yang belum bisa menerima kelompok LGBTIQ.

Narasi tersebut berbunyi, orang yang beridentitas LGBTIQ itu sedang mengkhianati agamanya dan dianggap kemudian tidak beragama. Narasi-narasi tersebut, menurut Anshori, digaungkan oleh kelompok yang belum memahami eksistensi agama. 

“Sejak kapan identitas seseorang itu dianggap me-remove keimanan seseorang, gak ada teorinya. Bahkan ada orang yang gak percaya sama Tuhan. Tuhan aja gak marah kok” Tegas Aan. Satu yang membedakan adalah penghayatan mereka terhadap agamanya yang beragam. 

“Keimanan seseorang itu ditentukan oleh ketakwaannya”, Tegas Aan lagi. Meskipun begitu, masih banyak orang yang menganggap LGBTIQ sebagai sekelompok orang yang sedang tersesat dan haram dengan membawa kisah Nabi Luth.

Menanggapi hal tersebut, Aan menjelaskan bahwa hal tersebut tidak bisa diterapkan langsung. Karena kasus dari kisah Nabi Luth itu berhubungan dengan pemerkosaan atau hubungan seksual yang koersif.

“Kalo seperti iku, kalau kamu jadi penyidik, jadi reskrim, itu hubungan suka sama suka atau hubungan yang koersif? … sudah benar dihukum. Itu kan percobaan perkosaan. … dan memang aku sangat mendukung tidak ada perkosaan.” Jawabnya. 

“Hubungan seksual sesama jenis berdasarkan konsen atau antarodhiin itu berbeda dan kisah Luth tidak bisa dijadikan basis preseden.” Tegasnya. Baginya, ketika satu hubungan dilaksanakan secara koersif maka akan dihukumi sesuai kisah Nabi Luth.

Namun, membicarakan hubungan suka sama suka, menurut Aan, Al-Quran abstain yang tidak melarang pun juga tidak menyuruh. Bahkan, Al-Quran merayakan adanya kelompok Queer , contohnya dalam QS. Annuur: 31 yang berbunyi. 

Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.

Dalam tafsir Al-Maudhu’i, beliau merujuk penafsiran kalimat tersebut pada kisah yang ada dalam Shahih Bukhari dan ketika ditanya “Siapa laki-laki yang tidak mempunyai hasrat seksual terhadap perempuan?” Dia merujuk pada sosok Hina, sahabat Ummu Salamah. 

Penerimaan dari agama Islam tersebut menunjukkan keramahan agama atas perbedaan SOGIESC, yang karenanya tidak membatasi hak mereka akan pendidikan. 

Namun, karena keeksklusifan dari sekolah-sekolah tertentu, masih sedikit sekolah yang membiarkan siswa/mahasiswanya untuk bebas berekspresi sesuai dengan kehendaknya. 

“Masih belum banyak sekolah yang membebaskan siswanya untuk berekspresi di luar gender biner, itu kritikku terhadap sekolah-sekolah secara umum. Apalagi sekolah Islam.” Tgas Aan. 

Liputan ini menjadi bagian dari program training dan hibah Story Grant Mengubah Narasi Gender di Media Melalui Jurnalisme Konstruktif oleh Magdalene.co dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK)

Baca Juga

Stay Connected

0FansSuka
20PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles