Kutub.id – Siapa dari kita semua yang tak mengenal akan harumnya nama Kartini? Pasti kita semua pernah mendengarnya. Biasanya pada tingkat dasar dan menengah di sekolah sering menggunakan namanya sebagai tokoh dalam perwujudan emansipasi perempuan di Indonesia.
Mungkin sebagian dari kita mengenal sosok Kartini ini dalam peringatan hari besar seperti “Hari Kartini” yang biasa diperingati pada 21 April setiap tahunnya. Atau mungkin mengenal beliau dari kiprah tulis menulisnya, seperti judul buku fenomenal yang ia tulis yaitu “Habis gelap, terbitlah terang”, atau beberapa tulisan tulisan yang dikirimkan pada sahabatnya di Belanda tentang kondisinya pada saat itu
Kita tak bisa melepas begitu saja latar belakang yang melekat Kartini sebagai putri dari Bupati Jepara, yang memiliki darah biru pada tubuhnya. Ragam budaya keningratan yang membelenggunya sebagai perempuan ideal yang harus tampil anggun dan gemulai di depan semua orang.
Masa pingitan adalah salah satu budaya adat Jawa yang mengurungkan diri perempuan di dalam sebuah kamar istana tanpa bertemu dengan satu orang pun kecuali keluarganya dan juga pelayan terpercaya istana. Masa waktu pingitan sendiri dimulai sejak putri raja berumur belasan tahun atau sudah aqil baligh sampai nanti ada yang meminangnya.
Selama masa pingitan berlangsung, Kartini diberikan beberapa suguhan buku oleh kakaknya yang bernama Kartono, untuk menemaninya dalam masa pingitan.
Di sinilah Kartini melihat dunia yang sebenarnya. Walau tubuhnya terjerat dinding tembok istana yang tebal nan kokoh, ia seperti melihat berbagai kemajuan Negara lain, melihat betapa indahnya kincir angin dan bunga lili Belanda, kemajuan berpikir seorang perempuan karir pada persidangan dan banyak hal lain yang ia temukan.
Ia menghabiskan hari harinya di dalam kamar pingitan ditemani buku bukunya. Merdekalah pikiran Kartini, ia mulai menulis, lalu mengirimkannya di beberapa percetakan surat kabar. Tak disangka itu membuahkan sebuah hasil yang sangat memuaskan. Tulisan Kartini begitu menarik perhatian. Banyak orang Belanda yang kagum akan tulisan-tulisan Kartini.
Mulai saat itu juga, ia bercita cita ingin mengembangkan dan memperjuangkan cita-citanya untuk menjadi seorang pelopor, bahwa perempuan juga layak, perempuan juga mampu untuk mendapatkan akses pendidikan, hak pendidikan yang setara dengan kaum laki laki. Siapapun berhak menjadi orang terpelajar.
Bukan hanya menjadi impian, cita-citanya ia impelementasikan dengan gerakan mengajarkan huruf, cara membaca dan lain sebagainya untuk kaum perempuan dan anak anak yang tak memiliki akses untuk mengenyam pendidikan dan mengikuti pembelajaran Belanda.
Spirit, Dinamika, Kartini Gen Z dan Relevansinya dengan Revolusi Industri 4.0
Kesadaran akan penerapan nilai nilai yang Kartini perjuangkan bukanlah semata mata euphoria yang setelah dideklarasikan hilang begitu saja. Walaupun tantangan yang dihadapi tentu saja berbeda, akan tetapi narasi yang diperjuangkan masih sama, panas dan membara dalam dada.
Perempuan memiliki daya saing yang kuat dalam persaingan leading sektor profesi laki laki. Siapapun yang mampu dan kompeten, maka dia yang berhak dan layak untuk menempati posisi tersebut.
Feodalisme belum hilang, ia hanya menjelma menyerupai peranan yang masuk pada setiap tatanan sosial masyarakat. Dengan membaca, belajar, dan terus melanjutkan pendidikan, maka secara tak langsung kita pun sedang mengikis sedikit demi sedikit praktik budaya Feodalisme.
Patriarki tentu saja masih menjadi musuh bersama yang saat ini masih terus menjalar menyerupai tanaman benalu yang menempel pada inangnya. Meneruskan semangat perjuangan Kartini lantas menjadikan upaya pemberantasan Feodalisme dan juga Patriarki.
Kutipan terakhir yang menjadikan Kartini sebagai pembaca yang ulung, dan kita dapat menirukan spirit perjuangannya, mempelajari ilmu menjadi seorang pemimpin karena membaca adalah sebuah riakan intelektual yang kreatif, Informatif dan maju.
“Raga boleh terpasung, tetapi pikiran harus terbang sebebas bebasnya” –RA Kartini
Giswah Yasminul Jinan, Wakil Ketua 1 IPPNU Kota Bandung