Kutub.id- “Kenapa di dunia ini ada orang-orang yang mampu menyakiti orang lain, hanya karena mereka merasa memiliki derajat yang lebih baik?”.
Menarik, itulah perasaan yang saya dapatkan saat melihat pembatas buku yang sedang dipegang, setelah menyelesaikan buku ini. Rasanya bukan hanya menarik, tetapi berbagai perasaan hadir. Buku ini, menceritakan tentang tiga perempuan dalam rentang waktu yang berbeda. Buku yang ditulis oleh Mbak Artie Ahmad pada tahun 2018, diceritakan dengan sudut pandang pertama di setiap kisahnya. Seolah-olah mereka sedang duduk di hadapan kita dan menceritakan rasa sunyi dihatinya.
Cerita yang dipaparkan pun sangat kompleks, saat selesai membaca satu kisah rasanya entah bagaimana; sedih, marah, bingung bahkan tidak berdaya menjadi satu. Kisah pertama dibuka dengan cerita dari Sunyi, ia terlahir sebagai anak dari kupu-kupu malam, hal tersebut membuat Sunyi harus menyembunyikan identitasnya. Dia benar-benar hidup dalam kesunyian, bahkan dia tidak menyukai hidupnya.
Hubungannya dengan Mi, ibunya begitu buruk. Karena ibunya tidak mau keluar dari dunia malam itu. Ibunya memiliki alasan tersendiri yang kemudian membuat Sunyi berjuang untuk mengeluarkan ibunya dari Bonet, mucikari yang telah mengambil untung banyak dari Mi.
Pada kisah kedua, kita akan bertemu dengan Sumirah. Seorang kembang desa yang cantik, ia merupakan ibu dari Sunyi. Sejak kecil, Sumirah pun mengalami kepahitan dan kesedihan yang amat tak terkira, di usianya yang begitu belia; Sumirah harus menerima cibiran dari tetangga bahkan sampai di cap sebagai anak orang jahat.
Bahkan saat menginjak usia remaja pun ia diajak oleh seseorang yang amat dicintai untuk pergi ke Ibu Kota. Namun, orang yang mengaku mencintai dan berjanji akan menikahinya; mala menjualnya kepada mucikari.
Kisah terakhir adalah Suntini, ia ibu dari Sumirah yang berarti merupakan nenek dari Sunyi. Kisah kehidupannya pun tak kalah menyedihkan. Kebahagiaan yang dirasakannya sebentar, tiba-tiba suaminya meninggal dan dia harus bertahan demi anak semata wayangnya. Sampai pada waktu yang tak terduga, ia bertemu dengan Dyah sahabat lamanya. Pertemuannya dengan sahabatnya tersebut, mengantar Suntini menjadi penghuni jeruji. Dia ditangkap tanpa mengetahui kesalahannya dan dipenjara.
Ketiga, kisah tersebut dikemas dengan gaya bahasa yang tertata, dengan menggunakan setting waktu maju mundur. Penulis mampu menceritakan kisah dengan utuh dan memiliki kekuatan saat menggambarkan karakter masing-masing tokoh. Meskipun ada beberapa kisah yang tidak diceritakan secara jelas dan terperinci, penulis pun mencoba mengungkapkan tragedi 1965 yang menjadi latar sejarah kejamnya hidup yang dialami tokoh cerita ini. Penangkapan tanpa surat perintah serta perintah mengakui kejahatan yang tidak dilakukan serta menjadi korban tahanan di Plantungan, telah membuat kehidupan tokoh dalam kisah ini harus memeluk luka serta rindu.
Secara keseluruhan, saya menikmati setiap cerita yang disuguhkan penulis. Apalagi saat membaca bagian akhir. Ada perasaan lega yang tak terkira. Selamat membaca teman-teman, semoga suka!
(Siti Fathonah)