“Telah kau pesankan aku seporsi luka yang menganga pada hidangan nampan yang penuh derai. Pada bagian bab ini, telah kubuka panci yang mengaburkan bau amis yang penuh derita.”
Ialah aku, perempuan yang kala itu menjadi ratu di pucuk hatimu. Disayang dengan penuh rasa amat dalam, lalu perlahan dihunuskan anak panah dan dijatuhkan sedalam kecewa.
Benar katamu itu, di penghujung perjumpaan terakhir kita, kau menyanyikan lagu “Bagaikan Langit dan Bumi”. Semakin terhempas aku ketika kau jabarkan dengan jelas bahwa makna lagu itu tak hanya sekadar terpaut jarak antar bumi dan langit. Telah kuinterpretasikan dengan penuh pengahayatan, kau ialah langit yang lapis pertamanya pun tak mampu kusentuh. Semakin berdarah-darah aku meloncat untuk menggapaimu namun tak sampai.
Bumi yang kau maksud adalah aku. Kuberikan pijakan dan penghidupan paling nyaman, tetapi senyaman apapun aku hanyalah hamparan tak berarti yang jauh dari kata bersih.
Di saat kelimpungan seperti ini, aku hanya memiliki air yang ketika terik matahari menyorotku dengan sinar keangkuhannya, kuluapkan titik-titik air pada awan, hingga ia membumbung tinggi pada langit. Lalu pada saat itulah, kubisikkan surat cinta pada hujan untukmu.
Kutitipkan rindu padanya untukmu, belum sempat ia berbisik, ia kembali jatuh menjelma rintik-rintik yang menyirami hamparan tanah kering.
Sejauh apapun melangkah, aku ingin menjadi tempatmu pulang. AWAL:{
Sejauh apapun melangkah, aku ingin menjadi tempatmu pulang. AWAL:{