Oleh: Arfi Pandu Dinata
Apa yang tersisa setelah pandemi? Mungkin hasrat yang terpendam cukup lama untuk melanjutkan kembali program pembangunan. Kemajuan yang pesat kelak terjadi di berbagai pelosok. Orang-orang mulai kembali sibuk bersekolah dan bekerja. Kondisi ekonomi segera memulih, jual beli ramai kembali, dan wisata meriah lagi. Pandemi telah membendung kuasa rindu, kini pecah sudah untuk kembali bertemu. Kesibukan yang sempat tertunda, saatnya ditemui kembali untuk melanjutkan visi besar tentang hidup yang lebih sejahtera.
Namun apa benar keadaannya memang seoptimis itu? Bagaimana jika pasca-pandemi ini dunia malah kian terpuruk? Kelesuan terjadi di seantero negeri. Ternyata terlalu banyak yang terjeda, hingga harus memulainya dari awal lagi. Malah jangan-jangan hanya sebatas durasi rehat untuk mempersiapkan lagi bencana yang akan tiba, lebih dahsyat dari Covid-19. Mungkin akan ada kematian yang lebih mengerikan. Dunia secara total terhenti.
Setelah pandemi tidak ada istilah yang disebut dengan “kembali seperti sediakala”. Kini saatnya menyangsikan era normal baru, lengkap dengan gaya dan cara hidup yang baru. Pergeseran agenda hidup, mengubah visi hidup juga. Manusia hanya tinggalkan luka oleh pandemi, masker-masker dalam saku jaket, botol-botol pensanitasi tangan di rak-rak lemari, atau keran air yang mengering dan berkarat. Belum lagi luka batin, bisa-bisa menganga dan tak kunjung kering. Tragedi sudah berlalu bersama jutaan jenazah yang tak akan kembali.
Ceritanya tidak akan pernah hilang termasuk saat korban mulai dihitung. Semua orang mendadak up date, yang kian lama membosankan juga, ternyata tidak sesingkat yang terkira. Minggu ke minggu peraturan karantina wilayah terus diperpanjang. Ada orang yang masih bertahan, banyak juga yang tak sabaran. Kejar-kejaran dengan polisi, karena nongkrong terlalu larut malam. Belum lagi cerita mencari jadwal vaksin, imun harus kuat biar nggak terlalu cemas karena katanya peluang resiko tertular menjadi berkurang atau mungkin sekedar ambisi untuk dapat sertifikat biar bisa keluar – masuk mal.
Pengalaman di gelombang derita wabah akan menjadi kenangan getir manis di era yang serba canggih ini. Pandemi meluluhlantakkan banyak hal, kekasih, waktu, dan uang. Pandemi menyisakan satu hal yang tidak akan pernah terenggut dari kesejatian sebagai manusia, ialah kerentanan.
Kerentanan secara kodrati kuat-kuat melekat dalam hakikat kemanusiaan. Ada tidaknya pandemi tidak mengubah keadaan kerentanan yang tetap inheren pada diri manusia. Sekuat-kuatnya pakai masker, akhirnya tertular juga. Sesering-seringnya cuci tangan, akhirnya demam juga. Kerentanan bukan keadaan yang harus manusia sangkal, ia laksana bayangan dengan bendanya. Bukan karena tertular kita menjadi rentan, justru sebaliknya karena manusia rentan makanya tertular Covid-19. Sekuat-kuatnya manusia melawan, pada akhirnya kalah juga.
Kerentan yang melekat pada raga menyebabkan seseorang mengalami kesakitan secara fisik biologis. Ada cara kerja anatomis-fisiologis yang berbeda dari biasanya. Dalam konteks ekologi yang lebih luas, tentu fenomena sakit bukan sesuatu yang buruk. Sakit itu alamiah dan wajar-wajar saja. Antroposentrisme memandang bahwa sakit merugikan manusia, dengan begitu harus ada pencegahan dan pemulihan sakit.
Terlepas dari hal tersebut, kerentanan fisik juga berdampak pada situasi sosial dan budaya. Seseorang yang terpapar virus Covid-19 rentan mendapat stigma kotor dan dosa. Di tambah dengan perlakuan-perlakuan yang diskriminatif, serupa pengucilan, intoleransi, dan subordinasi. Kerentanan mampu menyeret orang ke tepian peradaban, ia tidak bisa menikmati hak-haknya sebagai manusia. Bahkan bayang-bayang kekerasan menghantuinya juga, orang yang hidup dengan kerentanannya seakan-akan bukan menjadi manusia lagi.
Masih banyak senarai kerentanan lainnya yang kerap menjadi alasan untuk memperlakukan manusia lain dengan tidak adil. Identitas ras, suku, agama, gender, disabilitas, usia, hingga pilihan politik menghambat individu dan kelompok untuk tumbuh dan berpartisipasi dalam keberlangsungan hidup bersama. Prasangka dan labelisasi sangat dekat dengan keseharian, masyarakat Kanekes terbelakang, penghayat kepercayaan itu sesat, orang Padang itu pelit, perempuan mah baperan, orang tuli sangat merepotkan, dan masih banyak lagi. Dengan demikian pembatasan dan pelarangan terhadap ekspresi dan ruang gerak kelompok rentan terjadi di berbagai ranah kehidupan. Akses mendapatkan kehidupan yang layak sirna secara perlahan, seakan-akan ruang publik hanya milik kelompok mayoritas.
Penyerangan rumah ibadah, kekerasan terhadap perempuan, dan sarana publik belum ramah bagi orang dengan disabilitas, tentu fenomena tersebut sangat meyedihkan. Sekedar menjadi manusia saja dengan cara yang berbeda, sulitnya minta ampun bahkan beresiko untuk kehilangan nyawa.
Pandemi merupakan situasi yang mengajak seluruh orang untuk mengidentifikasi kerentanan yang ada pada dirinya masing-masing. Terutama bagi orang arogan yang merasa dirinya paling mayoritas. Mungkin dia terlupa bahwa setangguh-tangguhnya dirinya, pasti ada satu celah pada dirinya yang membuatnya rentan. Mungkin usia ataupun kondisi ekonominya. Mungkin pendidikan atau tubuhnya. Kerentanan di antara anak-anak manusia bukan untuk dipertandingkan, tapi untuk saling merangkul dan dihargai, kalau bisa untuk dikuatkan oleh satu sama lain.
Melampaui pandemi, lepas dari segala situasinya, mengingatkan manusia satu dengan manusia lainnya bahwa kerentanan resiko terpapar virus tidak memandang latar belakangnya. Toh, pandemi sama-sama mencekam bagi semua orang. Lagian masih banyak kok kerentanan-kerentanan lain yang ada pada diri setiap orang.
Penulis merupakan Koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATAUB)