Rabu, Maret 22, 2023

Mencari Cinta Ibu

Oleh Irawan

Aku menghela nafas sambil duduk di kursi bambu hitam hasil kerajinan ayah yang terletak didepan teras rumah. Teras yang masih beralas tanah dan dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu.

Aku melepaskan sepatu yang penuh dengan lumpur usai menempuh perjalanan panjang. Sesekali bola mataku mengarah ke atap teras bercorak bambu tersusun menopang genteng. Beristirahat sejenak dengan pikiran melayang menahan lelah. Namun tiba-tiba…

“Darimana saja kamu!!!, jam segini baru pulang. Main terus kerjaanmu!.” gertak ibu dengan keras yang muncul tiba-tiba dibalik pintu depan. Matanya terbuka lebar menatap tajam ke arahku yang baru pulang dari sekolah.

“Maaf bu, tadi ada kelas tambahan” ucapku gugup sambil menunduk. Sesekali mataku melirik ke arahnya. Nampak bengis dengan tarikan nafas yang ter engus-engus.

“Alya jam 12 sudah pulang. Kamu jam 3 sore!! Alasan apa lagi kamu!” pandangan matanya masih tajam ke arahku. Api amarahnya benar-benar bergejolak.

“Alya gak ikut itu bu, aku terpilih masuk kelas tambahan untuk masuk perguruan tinggi negeri terbaik bu”. Terangku berusaha meyakinkannya dan menatap ke arahnya. Alya adalah tetangga sekaligus teman dekatku. Aku dan dia satu kelas, wajar saja ibu tak percaya padaku.

“Alah omong kosong!!!. Suruh siapa ikut kaya gitu, gak penting!.” Tegasnya dengan bibir monyong ke kanan seolah mengejek.

“Ini penting bagiku bu, sebagai langkah awal untuk menggapai mimpi aku. Tidak semua orang punya kesempatan yang sama dalam mendapatkan jembatan menuju kesuksesan. Buktinya Alya tidak terpilih.” Terangku mencoba membuat ibu percaya.

“Ngeyel pula!. Cepat ganti baju, masih banyak kerjaan di kebun!.”tukasnya sembari beranjak masuk kedalam rumah meninggalkanku. Api amarahnya benar-benar masih belum redup.

Tidak memerlukan waktu lama untuk berganti pakaian. Aku langsung beranjak menuju kebun. Terlihat ibu sedang tertunduk, tangannya menjatuhkan dua biji kacang tunggak ke dalam lubang yang telah dicangkul. Berjalan perlahan sembari mengeruk tanah menggunakan kakinya untuk menutupi kacang tersebut. Hal itu dilakukan secara berkesinambungan.

Kehadiranku tak di liriknya sedikit pun. Mungkin amarahnya tadi belum juga padam. Tak ada suara sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Aku langsung mengambil bibit kacang tunggak yang telah disediakan di pinggir lahan yang telah dicangkul, langsung ku ikuti gerakan ibu.

Hingga hampir setengah perjalanan menanam kacang tunggak. Mataku sesekali melirik wajah ibu. Kerutan kecil di pipi dan dahi khas wajahnya menunjukkan api amarah telah padam.

“Ibu…” panggilku dengan lembut. Mencoba membuka bahasan sembari melanjutkan menanam kacang tunggak.

“Apa..” jawabnya mendayu selembut angin di sore itu. Nampak api amarahnya benar-benar sudah terasa padam. Kebengisan di wajahnya itu telah luntur diterpa angin bercorak senja.

“Aku pulang telat karena harus latihan soal tes masuk universitas terbaik bu. Supaya aku bisa kuliah dengan beasiswa, jadi ibu tidak perlu memikirkan biaya kuliahku bu.” Terangku.

“Kuliah?. Apa pentingnya anak perempuan kuliah? Nanti ujung-ujungnya juga ke dapur” tanyanya dengan merendahkan derajat perempuan.

“kuliah itu untuk menambah wawasan baru dan memperluas pengetahuan bu. Perempuan zaman sekarang perlu pendidikan yang baik untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial. Tidak hanya ke dapur, sumur, kasur seperti apa yang ibu pikir.” Jelasku sesekali melirik ke arah ibu dengan tetap lanjut menanam kacang tunggak.

“Alya gak ikut itu, teman-teman perempuan kamu yang ada di kampung ini juga gak ada yang ikut itu. Hanya kamu sendiri yang beda!” Sangkalnya dengan nada mulai meninggi.

“Justru itu bu, Masyarakat di kampung ini cukup awam. Orang tua dan generasi mudanya sibuk dengan dunianya sendiri. Ibu liat aja pemuda pemudi kampung ini, hanya gadget yang dipegangnya tiap hari, main game, sosial media, nonton drakor, dan tiktok. Mereka seolah menerima mentah-mentah teknologi tanpa memikirkan masa depannya. Padahal apa yang kita tanam hari ini, maka itu yang akan kita tuai di masa mendatang.” ujarku dengan sedikit mengangkat pandangan ke arahnya.

“Hei!!!…, mereka bukan awam!. Itu mengikuti perkembangan zaman.” tegasnya, percikan api amarah mulai terpancing.

“Tapi bu…, sebagai generasi muda diharuskan produktif sebagai agent of change untuk membangun bangsa yang positif. Kita juga harus berbenah agar tidak terus-terusan dalam kemiskinan. Kita juga perlu menjadi contoh yang baik untuk anak-anak dimasa mendatang. Jika pemuda pemudi yang tidak memanfaatkan waktunya dengan baik yang dijadikan contoh. Bagaimana nasib kampung ini bu? Bahkan nasib bangsa tempat kita menginjakkan kaki saat ini” terangku.

Ibu melempar beberapa biji kacang tunggak ke arahku, “Hei!!! Mulut kamu kalo udah ngomong kaya burung beo kelaparan. Nyerocos terus!.”Tegasnya menyentak.

Aku terdiam menunduk. Tak ingin memancing amarah ibu menjadi bergejolak hebat yang sulit dipadamkan. Ibu diam sejenak, lalu menambahkan,

“Selesaikan lah dulu pekerjaan ini. Jangan banyak omong!. Malam ini kamu harus jualan kue lepet ketan untuk biaya kamu sekolah!. Sudah ku minta kakak kamu menyiapkan jualannya. Belajar cari uang sendiri biar kamu bebas mau kemana saja dengan uang kamu!.” jelasnya.
Aku menunduk kecil, terpaksa mengiyakannya, “Iya bu.”

Saat hari mulai gelap, aku beranjak ke pesta di kampung sebelah untuk berjualan. Di kampung itu sudah terbiasa menggelar organ tunggal sebagai hiburan untuk pestanya. Biasanya mulai jam 4 sore sampai jam 12 malam dengan biduan yang memakai pakaian ketat yang menggoda kaum Adam 18+.

Tidak terlampau jauh jaraknya, sekitar 10 menit dengan berjalan kaki. Menyusuri hutan bambu yang gelap pekat dan persawahan yang licin karena musim penghujan. Kampungku ini cukup tertinggal meski zaman sudah cukup modern. Jalan utama saja masih beralas tanah tanpa bebatuan. Pemuda pemudi yang tak tergerak untuk belajar dan mengubah kampung ini, membuat pemerintah tak melirik kampung yang terpencil di pinggir sungai.

Saat tiba dipesta, tanpa beristirahat aku langsung berkeliling menjajakan jualanku. Aku membawa 20 ikat kue lepet ketan yang dililit daun kelapa. Satu ikatnya terdiri dari 7 buah dengan harga lima ribu rupiah.

“Lepet lepet.. lepet ketan bu…, lepet ketan pak, satu ikat lima ribu” teriakku sambil berkeliling ke setiap sudut keramaian. Lagu dari biduan bergenre dangdut memecah keheningan malam. Aku tak mau kalah untuk semangat berkeliling agar jualanku cepat habis.

“Bisa kurang gak dek? Satu ikat tiga ribu lah dek,” tawar seseorang yang hendak membeli. Beberapa ada yang langsung beli, ada juga yang menawar minta harganya dikurangi.

“Maaf tidak bisa, ini satu ikatnya udah ada tujuah buah” tegasku.

Pendirianku tetap tegak di harga normal. Waktu yang mulai menyusut hingga jualanku tersisa lima ikat lagi. Aku beristirahat di sebelah nenek penjual kacang rebus. Menikmati lagu yang dinyanyikan biduan-biduan yang penampilannya kurang pantas menurutku, memakai rok mini dan baju ketat memamerkan lekukan tubuh layaknya budaya barat.

Banyak orang yang nyawer biduan-biduan itu. Bahkan ada yang di sawerkan juga ke penonton di depan panggung. Aku mulai melupakan jualanku, aku titipkan sebentar ke nenek penjual kacang rebus. Saweran demi saweran terasa begitu memecahkan keheningan malam.

Aku ikut berdiri di depan panggung bersama gerombolan laki- laki dengan harapan aku bisa membawa uang lebih dari hasil rebutan uang sawer itu. Hingga pesta itu selesai, namun hasilnya tak sesuai ekspektasi. Dari hasil rebutan itu aku hanya dapat uang lima ribu rupiah. Memang seharusnya anak perempuan sepertiku tak ikut hal semacam itu.

Kue lepet ketan yang aku jual masih tersisa lima ikat. Ku coba jajakan lagi sembari menuju arah pulang. “Lepet… lepet. Satu ikat lima ribu.”

“Satu ikatnya empat ribu aja dek!, saya beli tiga deh” ucap seseorang menawar.

“Iya boleh,” dengan berat hati aku mengiyakan, dari pada aku kena marah ibu karena masih tersisa banyak. Aku jadikan uang hasil rebut saweran itu sebagai gantinya.

Aku ingin menjadi air dimata ibu. Agar bisa menjadi pemadam di setiap api amarahnya membara. Tidak hanya itu, air yang ku maksud memiliki sejuta manfaat bagi tumbuhan dan hewan di sekitarnya. Supaya ibuku bisa bangga padaku suatu saat nanti.
Lebih dari dua purnama habis. Waktu mengantarkanku ke penutupan acara PKK MABA UGM 2021. Aku berhasil kuliah di UGM jurusan S1 Bahasa dan Sastra Indonesia dengan Beasiswa KIP kuliah.

“Lau…? Laura… Hallo? Kok kamu bengong aja dari tadi?” tanya Naira dengan nada keheranan. “Tadi cerita kamu sangat menginspirasi, perjuangan kamu untuk bisa dititik ini patut diacungi jempol. Terlebih lagi teman-teman sangat antusias mendengarkannya” lanjut naira.

“Oh… maaf.. maaf. Terkadang suka sedih kalo di ingat kembali” mataku berlinang setelah menceritakan pengalaman hidup di depan teman-teman sesama MABA 2021.

“Sekejam itu sikap ibumu?” tanya Naira. Ceritaku menggelitik telinganya di tengah keramaian.

“Sebenarnya dia ibu angkatku. Dia sayang kok sama aku. Buktinya dia masih mau merawat aku sampai sekarang. Dia hanya ingin aku bisa hidup mandiri, memaksimalkan waktu yang ada di setiap hariku, lebih gesit saat bekerja, paham ekonomi keluarga, berbakti kepadanya dan bermanfaat untuk orang lain” jelasku tersenyum menatapnya.

“Ibu kandungmu kemana?, dan kenapa kamu masih bersikap keras untuk melanjutkan kuliah?” Naira kembali bertanya dengan nada ragu. Mungkin takut aku tersinggung.

Aku tersenyum dan menggelengkan kepala, “Ibu angkatku bilang, aku ditemukan di depan rumahnya. Kala itu aku yang masih terbungkus di dalam keranjang dengan tangisan merengek membangunkannya dipagi buta. Tak ada sedikitpun kata atau kertas yang tertinggal mengenai identitas orang tua kandungku.

Di balik itu, kebetulan orang tua angkatku hanya punya anak satu. Jadi dia memutuskan untuk mengadopsiku.

”Aku terdiam sejenak, lalu menambahkan, “Selain untuk mencapai mimpi-mimpiku. Aku ingin menjadi orang sukses dan bisa menaikkan derajat orang tua. Aku juga ingin menulis cerita ini dalam sebuah novel. Aku berharap dengan cara ini bisa bertemu dengan orang yang paling aku sayang, yaitu ibu kandungku. Sekaligus membuat ibu angkatku bangga, dan bisa memberikan cinta serta kasih sayangnya untukku.”

Naira tersenyum dengan mata berlinang. Tak mengeluarkan kata sedikitpun, dia langsung memelukku dengan erat. Aku pun membalas pelukannya.

Tulisan ini merupakan Karya Terbaik Event Cerpen Tema Perempuan PC IPPNU Kabupaten Bandung Barat.

Baca Juga

Stay Connected

0FansSuka
20PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles