Kutub.id- Saat ini, umat Islam di seluruh Indonesia sedang menyambut datangnya bulan suci Ramadhan dengan berbagai kegiatan yang sudah menjadi tradisi masyarakat sejak lama.
Demikian pula menjelang datangnya bulan Ramadhan 2022, meski dalam kondisi yang sudah tergerus zaman modern, namun masih banyak masyarakat yang terus melakukan tradisi menyambut bulan kemuliaan.
Jika dalam komunitas Jawa terdapat tradisi “Megengan” atau “Nyadran”, maka untuk menyambut bulan puasa masyarakat Sunda juga memiliki tradisi serupa yang disebut “Munggahan”. Apa itu Munggahan?
Di masyarakat Sunda, kita sudah mengenal tradisi munggahan untuk menyambut bulan suci, tradisi sebagai salah satu ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT untuk membersihkan diri dari hal-hal yang buruk selama setahun ke sebelumnya dan agar terhindar dari perbuatan yang tidak baik selama menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Secara bahasa munggahan berarti naik ke tempat yang lebih tinggi. Hal ini disimbolkan berupa kebiasaan masyarakat Sunda mengajak seluruh anggota keluarga berpersiran ke dataran tinggi seperti Curug, tempat pemandian di lereng gunung, dan lain-lain
“Munggahan sendiri berasal dari bentuk relasi sosial masyarakat Sunda yang terstruktur dari kelompok atas (Hinggil) sampai kelompok bawah (handap).”
Kelompok atas merupakan generasi pambajeng (anak pertama dan kedua) yang menetap di wilayah dalam. Sedangkan kelompok bawah adalah generasi anak bungsu atau kakak bungsu yang memilih merantau atau menetap di luar kampung.
Kelompok atas memiliki peran penting untuk menjaga kelangsungan orisinalitas budaya leluhur. Mereka ini yang sering dikonotasikan sebagai kelompok Brahmana dan ksatria dalam pendekatan Hinduisme.
Peran mereka menjaga kelangsungan orisinalitas budaya leluhur dianggap memiliki kedekatan dan dapat berkomunikasi melalui bahasa halus dan tinggi dengan Tuhan maupun ruh leluhur.
Sementara kelompok bawah yang memilih merantau dan menetap di luar kampung berperan untuk mengembangkan ekonomi, sosial, dan politik bersama komunitas lain yang juga keluar kampung. Mereka ini yang diidentifikasi menurut strata sosial Hinduisme sebagai kelompok waisha dan sudra.
Dalam istilah Bahasa Sunda yang lain, munggahan yakni unggah yang berarti naik. Dalam hal ini munggahan bermakna naik ke bulan yang suci atau tinggi derajatnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), munggahan berarti tradisi berkumpul dan makan bersama dengan keluarga atau teman untuk menyambut bulan Ramadan.
Biasanya munggahan dilakukan dalam beberapa hari menjelang memasuki Ramadhan. Keluarga besar kumpul sambil berdoa dan makan-makan, terkadang dilakukan di tempat terbuka atau sambil berwisata.
Bisa juga dilakukan dengan mengundang tetangga untuk mengaji dan mendengarkan ceramah seputar Ramadan. Ada juga yang sengaja mudik ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga sambil melaksanakan munggahan.
Munggahan tidak hanya bermakna sempit berkumpul dengan keluarga besar sambil makan-makan. Namun, momen munggahan menjadi momen yang baik untuk bermaaf-maafan, ziarah kubur ke makam kerabat atau saudara, botram (makan bersama). Bahkan pada munggahan, kita membersihkan diri dengan kramas sehari menjelang datangnya Ramadhan.
“Dalam momen kekeluargaan inilah, mereka mayor dan ngariung (makan dan kumpul) bersama. Terlebih dahulu mereka berziarah ke malam-malam leluhur mereka. Sesudah itu mereka menuju tempat rekreasi seperti Curug, taman gunung, kolam pemandian, yang diakhiri dengan makan bareng keluarga.”
Di masyarakat Indonesia yang beraneka ragam tradisi, banyak cara untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, selain munggahan di masyarakat Jawa Barat, khususnya Sunda. Di Aceh dikenal meugang, di Sumatera Barat dengan mandi balimau, di Jawa Timur ada nyadran.
Sedangkan di masyarakat Riau mereka punya tradisi melakukan jalur pacu, di Betawi terkenal dengan nyorog. Di Klaten ada padusan dan di Semarang melakukan dugderan, serta bermacam tradisi lainnya mewarnai kegiatan menjelang bulan puasa.
Editor: Renita
Sumber: Berbagai Sumber