Kutub.id— “Seseorang bahagia bukan karena semua benar dalam hidupnya, tetapi sikap terhadap hidupnya yang benar.” (Sundar Pichai)
Semakin hari, tekanan hidup semakin bertambah. Dulu, kita bisa naik sepeda ontel dengan santai di jalanan. Sekarang? Jalanan sudah penuh dengan suara klakson dan … cacian!.
Dulu, tanpa membawa apa-apa, siapa pun bisa ngobrol dengan santai di tempat tongkrongan tanpa harus khawatir soal merek dan seri terbaru ponsel mereka. Dulu, seseorang baru bisa meraih uang puluhan juta rupiah setelah menekuni karir dan bisnis beberapa tahun, sekarang banyak orang bisa mendapatkan uang dengan mudah melalui jejaring sosial.
Seolah-olah, bila tidak bisa mengimbangi segala “kemajuan” yang ada, hidup kita dianggap jadul dan kolot. Lebih parahnya lagi, ukuran kebahagiaan semakin bergeser dengan menjadikan materi sebagai syarat utamanya. Ditambah lagi, popularitas semakin dijadikan ukuran kesuksesan seseorang. Wajar bila akhirnya siapa pun berlomba-lomba agar bisa viral dan terkenal, meski jalannya bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
Memang ada kebaikan di setiap kemajuan yang terjadi. Sayangnya, kesiapan mental dan attitude orang-orang tidak berjalan secepat kemajuan tersebut. Alhasil, kemajuan tidak dijadikan motivasi untuk menjadi pribadi yang lebih berkualitas, justru menjadi alat yang digunakan untuk menghancurkan diri sendiri dan orang lain. Bagi siapa pun yang tidak kuat menghadapi pesatnya kemajuan zaman, jelas mentalnya akan cepat down dan akhirnya terlindas dan tertindas.
Di sisi lain, ketika segala kemajuan—yang terjadi di luar diri kita—semakin diagung-agungkan, kita malah mengalami krisis kepercayaan diri (insecure) dan pelan-pelan kehilangan makna hidup. Seolah-olah, diri kita ini makhluk yang teramat kecil yang hidup di tengah kepungan raksasa modernitas. Kita berada di posisi yang serba sulit: belum sepenuhnya mampu mengikuti gerak kemajuan tersebut, tetapi juga tidak ingin ketinggalan sendiri. Sebab bila kita tertinggal dan jauh dari update ini-itu, kita merasa sudah merasa sangat kesepian (loneliness) dan mudah gelisah (anxiety).
Meskipun sebenarnya kita sudah berusaha untuk cuek dan mengalihkan perhatian ke hal lain, tetapi kita selalu gagal. Perhatian kita selalu tertuju pada apa yang dikatakan orang lain. Kita menjadi kehilangan pegangan untuk tetap teguh pada prinsip dan tujuan hidup sendiri. Seperti kapal nelayan yang diterjang ombak dan badai di laut lepas, kita benar-benar terombang-ambing tak berdaya.
Segala ukuran tentang kebahagiaan dan kesuksesan pun sudah tak sanggup kita gapai lagi. Pelan-pelan mental kita hancur dari dalam hingga yang tampak dari luar hanyalah kebahagiaan semu. Kita berusaha untuk tetap tersenyum, padahal senyum itu hanyalah topeng yang terpaksa kita pakai. Kita sibuk mencari pengakuan dari orang lain dan ingin mendapat pujian agar terlihat lebih sukses dari hari ke hari. Bahkan untuk mencapainya, kita terpaksa untuk memakai “baju” orang lain dan pura-pura menjadi seperti mereka. Itu kita lakukan agar bisa diterima di tengah-tengah mereka. Dengan begitu, kita bisa segera mendapat pengakuan, tetapi pelan-pelan justru menggerus jati diri sendiri.
Pada saat yang sama, kita menjadi manusia modern yang selalu berusaha untuk logis dalam meraih impian. Segala hal kita lakukan demi mencapai target. Sayangnya, baik disadari atau tidak, kita sering keluar dari jalur yang telah disyariatkan Allah swt. Kita mengambil jalan pintas demi mendapatkan keuntungan pribadi tanpa merasa bersalah. Meski hati kecil kita sudah sempat memberikan ‘alarmnya’, kita tetap saja cuek demi bisa mempertahankan eksistensi diri. Kita merasa serba bisa dan akhirnya menjadi angkuh. Namun, begitu masalah besar menghantam, kita malah menyalahkan Tuhan.
Identitas Buku:
Judul Buku: Agar Letih Berangsur Pulih
Penulis: Dwi Suwiknyo
Dimensi:14 x 21 cm
Cetakan:September 2023
Halaman:214
Cover: Soft Cover
Penerbit: Rene Islam
ISBN: 9786236083574
Reviewer: Jahar Haiba