Kutub.id – Akhir Agustus lalu publik dihebohkan oleh pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat, UU Ruzhanul Ulum yang menawarkan praktik menikah muda dan poligami untuk menekan angka HIV/AIDS di Bandung.
Menanggapi pernyataan ini, Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (Kopri) Cabang Kabupaten Bekasi mengaku miris dengan statment Wagub Jabar yang dikabarkan akan naik sebagai calon Gubernur Jabar 2024 itu.
“Betul, nikah muda belum tentu buat sengsara, tapi nikah di usia muda yang belum matang dan siap bukankah menjadi masalah baru bagi perempuan?,” ungkap Ketua Kopri Kabupaten Bekasi, Resti MPPS.
Membedah hal ini, Kopri Kabupaten Bekasi menggelar diskusi malam mengenai solusi dan pengenalan HIV/AIDS bersama penggiat HIV Bekasi, Syahrul Romadhon.
Syahrul mengungkan bahwa berdasarkan data penanggulangan WHO dan Kemenkes RI, pencegahan penularan HIV ada 5 komponen yaitu:
Abstinence, Be Faithfull, Condom, No Drugs, Education. Dan yang terbaru adalah PrEP (Pre Exposure Profilaxis).
Prinsip penularan penyakit HIV/AIDS juga memiliki prinsip dan tidak mudah terjadi jika salah satu prinsip ini tidak terpenuhi yaitu, ESSE (Exit:(Keluar), Survive(Hidup), Sufficient:(Cukup), Enter:(Masuk).
“Jika media penularan seperti darah, cairan kelamin, atau air susu ibu positif HIV keluar dari tubuh dalam jumlah yang cukup dan dalam keadaan hidup (virus) dan masuk ke dalam tubuh lain maka akan terjadi penularan HIV/AIDS,” terangnya.
Resti menilai solusi yang ditawarkan Wakil Gubernur Jawa Barat bertentangan dengan anjuran pencegahan penyakit HIV/AIDS oleh WHO dan Kemenkes RI.
“Melakukan poligami dengan dalih agar tidak zinah, bukan solusi yang tepat. Telah dijelaskan oleh WHO prinsip pencegahan penularan bisa dilakukan yang salah satunya adalah Be Faithfull (setia pada pasangan) tidak berganti ganti pasangan dalam berhunungan seks dan lain-lain,” ungkap Resti.
Diskusi yang dihadiri perwakilan Komisariat Kopri se-Kabupaten Bekasi menyimpulkan bahwa masih banyaknya Kebijakan pemerintah berdasarkan peran maskulinitas. Padahal Jawa barat pernah menjadi tuan rumah Konferenai HIV/AIDS Indonesia, dan ini menunjukkan bahwa pemerintah Jawa Barat sendiri tidak komitmen dengan hasil kesepakatan bersama.
“Adanya misinformation mengenai edukasi HIV/AIDS di kalangan masyarakat termasuk Wagub Jabar merupakan potret sebegitu maskulinnya bait-bait kebijakan kita sehingga solutif patriarki yang di tawarkan seolah menjadi solusi yang tepat padahal tidak sama sekali,” tutup Syahrul.