Kutub.id – Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan salah satu kelompok pekerja yang rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi. Kekerasan dan diskriminasi yang dialami tersebut diantaranya tidak diberi upah, jam kerja lebih dari 18 jam, pembatasan akses ke luar rumah, dihambat untuk berkomunikasi, bersosialisasi, berserikat dan rentan kekerasan dalam rumah tangga dan eksploitasi. Indonesia penyumbang PRT yang tinggi Indonesia merupakan negara dengan tingkat PRT yang tinggi, baik di dalam maupun luar negeri. ILO (2016) memperkirakan jumlah PRT di Indonesia pada 2015 berjumlah 4,2 juta dan mayoritas adalah perempuan. Sama halnya dengan 9 juta PRT migran Indonesia di luar negeri yang 60%-70%nya adalah perempuan (Bank Dunia, 2017). Situasi PRT semakin buruk karena Pandemi Covid-19 Situasi PRT ini semakin buruk dan potensial melahirkan kemiskinan berwajah perempuan, saat pandemi Covid-19 melanda. PRT yang tinggal di rumah majikan menghadapi situasi kerentanan tertular Covid-19 saat mereka bekerja melayani keluarga majikan termasuk dalam keadaan sakit. Sementara perlindungan dan jaminan kesehatan yang diberikan kepada PRT minim. Sebagian majikan melakukan PHK terhadap PRT yang tidak tinggal di rumah untuk mencegah penularan Covid-19. Karena itu, angka pengangguran PRT tinggi di masa pandemi dan ironisnya sebagian besar mereka tidak memiliki jaminan kesehatan dan terabaikan dari skema bantuan sosial. UUPRT masih menjadi Polemik Saat ini Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2022 dan masih menunggu proses pengesahan menjadi RUU Inisiatif DPR. Dicatat bahwa sejak 2004, RUU PPRT terus mengalami pro dan kontra baik dalam hal perspektif maupun substantif. Hingga saat ini masih ada anggapan terutama di kalangan pembuat kebijakan bahwa RUU PPRT masih dianggap belum mendesak karena jumlah PRT dipandang sedikit serta status sosial mereka dianggap kurang signifikan. Dalam berbagai konteks sosial, yang masih cukup kental dengan hirarki sosial, RUU PPRT bahkan dianggap dapat mengganggu tatanan sosial dan budaya yang ada di masyarakat. Pandangan ini kemudian diperparah dengan salah kaprah dan informasi keliru terkait isi dari RUU PPRT yang justru memojokkan PRT. Meski Pemerintah telah berupaya untuk mengurangi dampak minimnya perlindungan terhadap PRT melalui Permenaker No.2 Tahun 2015, namun Permenaker tersebut ditengarai masih belum cukup memberikan perlindungan. Sejak Permenaker dikeluarkan masih banyak terjadi kasus kekerasan berbasis gender, penyiksaan dan pelanggaran hak-hak PRT dengan minim penanganan yang mengindikasikan pengabaian. Negara harus hadir melindungi hak-hak PRT Komnas Perempuan dalam siaran persnya ketika memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional memastikan bahwa negara harus hadir untuk memastikan hak-hak PRT terlindungi melalui kebijakan. Karena Ketiadaan RUU PPRT merupakan salah satu penyumbang berulangnya kekerasan dan diskriminasi terhadap PRT serta minimnya pemenuhan hak-hak PRT dan perlindungannya. Itulah sebabnya, upaya perlindungan terhadap PRT melalui pengesahan RUU PPRT mendesak dilakukan demi memenuhi tanggung jawab Negara, terutama dalam perlindungan hak konstitusional warga, khususnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta hak atas rasa aman (Pasal 28D Ayat 1 dan 28G Ayat 1 UUD NRI 1945). Selain itu, pasal 2 (b) UU No 7 tahun 1984 tentang Penetapan Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) mengamanatkan agar Negara Pihak membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan upaya lainnya, termasuk sanksi-sanksi, yang melarang semua diskriminasi terhadap perempuan. Pengesahan RUU PPRT juga dapat memperkuat posisi negara dalam mengadvokasi penanganan kasus-kasus kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi PRT Migran di luar negeri. Sumber: Siaran Pers Komnas Perempuan |
Pentingnya Regulasi Perlindungan untuk Pekerja Rumah Tangga
- Advertisement -