Kutub.id– Stigma perempuan sebagai sumber fitnah adalah masalah yang serius dalam masyarakat modern. Fenomena ini menciptakan persepsi negatif terhadap perempuan dan membatasi potensi serta kontribusi mereka dalam berbagai bidang kehidupan. Namun, di tengah stigma ini, banyak perempuan yang berjuang untuk melawan dan mengubah narasi yang merugikan ini.
Ketika mengekspresikan potensi di dalam diri, dengan bekerja, berkarir, dan berorganisasi, perempuan masih kerap dituding sebagai sumber fitnah. Padahal, potensi yang dimiliki perempuan bisa menjadi anugerah bagi kemaslahatan karena sejatinya sumber fitnah pun bisa berasal dari harta, tahta, bahkan pria.
Disisi lain, sering terdengar ungkapan, “harta, tahta, dan wanita.” Ungkapan ini bisa menjadi dua mata pisau yang dapat bermakna positif, tapi di sisi lain dapat bermakna negatif. “Harta, tahta, dan wanita” bermakna positif ketika dianggap sebagai hal yang berharga sehingga dijaga dengan baik-baik. Sementara itu, “harta, tahta, dan wanita” bermakna negatif ketika dianggap sebagai hal yang mendatangkan fitnah dan masalah.
Kekeliruan cara pandang terhadap perempuan sebagai sumber fitnah merupakan bentuk ketidakadilan sehingga semua masalah itu dari perempuan, bahkan korban pemerkosaan pun, yang disalahkan tetap perempuannya.Selama berabad-abad, perempuan telah dihadapkan pada diskriminasi dan stereotip yang merugikan. Perempuan sering kali diberikan peran yang terbatas dalam masyarakat dan dihakimi atas tindakan atau pilihan hidup. Namun, melalui perlawanan, perempuan telah mengubah narasi ini dan memperjuangkan hak-hak perempuan.
Baca Juga: Kekerasan Bebasis Gender Di Tempat Kerja: Perempuan Menjadi Korban Utama
Dalam tulisan ini, terdapat asal-usul stigma perempuan sebagai sumber fitnah, mengeksplorasi upaya perempuan untuk mengubah persepsi, dan membangun kesetaraan gender yang lebih inklusif. Dengan memahami dinamika stigma yang dihadapi kaum perempuan, tulisan ini diharapkan dapat memberikan inspirasi terhadap tindakan yang lebih efektif dalam mencapai tujuan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan.
Asal-usul Perempuan sebagai Sumber Fitnah
Pada akhir tahun 2021, jagat media sosial sempat digemparkan oleh postingan dari akun Instagram @temanshalih yang menyebutkan jika wanita memakai BH (Buste Houder) bisa menimbulkan fitnah sehingga perempuan haram menggunakan BH. Perempuan yang mengenakan BH dianggap dapat menggoda orang lain terutama kaum laki-laki.
“Memakai BH mengakibatkan payudara menjadi tampak dan membuat para perempuan tampak lebih muda sehingga mereka menjadi sumber fitnah.” Begitu lah bunyi kalimat yang tertulis di dalam postingan tersebut. Fitnah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pesona atau potensi seseorang yang menggairahkan dan menggoda orang lain. Dengan demikian, perempuan sumber fitnah berarti pesona atau potensi perempuan yang menggairahkan dan menggoda kaum laki-laki.
Mungkin bagi sebagian orang pernyataan bahwa perempuan yang memakai BH dapat menjadi sumber fitnah, tidak lebih penting daripada permasalahan yang berkaitan dengan hajat hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Namun, bagi kaum perempuan pernyataan ini sangat problematis sama halnya dengan permasalahan besar di negara ini, yaitu budaya laten korupsi. Ironisnya, stigma perempuan sebagai sumber fitnah merupakan fenomena domestikasi perempuan yang tidak terlepas dari pandangan keagamaan dan paham teologi yang bias gender. Padahal Islam datang menyejajarkan perempuan dan laki- laki, sebagaimana tertulis di dalam al-Quran Surat al-Ahzab [33] ayat 35.
Selain itu, Islam datang dengan semangat egalitarianisme dengan merobohkan tradisi jahiliah yang memandang anak perempuan sebagai aib dan sumber fitnah sehingga tradisi jahiliyah untuk mengubur anak perempuan hidup- hidup menjadi tradisi yang dilakukan turun temurun sebagaimana direkam dalam al-Quran surat an-Nahl [16] ayat 58-59.
Penafsiran Ulang atas Teks Agama yang Diskriminatif
Kendatipun semangat Islam adalah egalitarianisme, perempuan butuh effort lebih untuk berdiri sederajat dengan laki-laki. M. Kholid Syeirazi dalam bukunya, Wasathiyah Islam Memahami Anatomi, Narasi, dan Kontestasi Gerakan Islam, menjelaskan bahwa di sejumlah negara Islam, perempuan dibatasi kiprahnya di
sektor domestik. Jangankan menjadi pemimpin politik, haknya untuk bekerja dan beraktivitas di luar rumah bahkan dibatasi. Justifikasi yang digunakan adalah nash keagamaan yang ditafsirkan “diskriminatif” terhadap perempuan.
Hal ini diperkuat dengan catatan yang ditulis di dalam buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah, karya Dr Faqihuddin Abdul Kodir. Kerancuan pandangan terkait perempuan sebagai sumber fitnah terbukti didasari oleh nash keagamaan. Menurut dosen IAIN Cirebon Syekh Nurjati ini, terdapat teks agama yang salah dipahami, bahkan dipahami secara diskriminatif. Teks agama tersebut adalah hadits dari Usamah bin Zaid ra. dari Nabi Muhammad saw. yang menyebutkan, “Tidak aku tinggalkan setelahku suatu fitnah (ujian) yang paling berat bagi laki-laki kecuali (ujian mengenai pesona) perempuan”.
Menurutnya, teks itu seakan-akan menghakimi perempuan sebagai sumber masalah, sedangkan laki-laki menjadi korban. Secara eksplisit, teks hadis itu menegaskan laki-laki agar tidak terjerumus terhadap pesona (fitnah) perempuan. Akibatnya, perempuan yang bekerja, berkakrir, dan berorganisasi dianggap sebagai sumber keretakan rumah tangga atau dianggap sebagai perempuan yang tidak becus mengurus keluarga.
Padahal dalam hadis itu, pesona (fitnah) perempuan hanya contoh saja (tamsil). Oleh karena itu, laki-laki juga sebenarnya bisa jadi sumber fitnah, bahkan laki-laki bisa lebih terpesona dengan godaan kekuasaan dan harta karena ambisi dan keinginan yang membelenggu jiwanya. Melalui tafsir mubadalah, hadis itu mengajarkan bahwa segala bentuk dalam kehidupan merupakan ujian dan fitnah, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian perempuan dan laki-laki harus meningkatkan kebaikan serta menjaga diri dari keburukan, sebagaimana tercantum dalam al- Quran Surat al-Mulk [67] ayat 1-2.
Sama halnya dengan fitnah dan ujian yang tidak mengarah pada satu gender saja, perempuan dan laki-laki juga punya hak yang sama dalam memuliakan dirinya dengan menjadi makhluk yang baik. Kalis Mardiasih dalam buku Sister Fillah, You’ll Never Be Alone, menyebutkan bahwa kata “dimuliakan” bersifat pasif sehingga kemuliaan seolah-olah hanya bisa hadir dari pihak di luar diri perempuan
itu sendiri. Kemuliaan tidak akan terwujud jika perempuan tidak punya akses pada kesetaraan.
Peran Perempuan dalam Melawan Stigma
Perempuan yang menentang stigma sebagai sumber fitnah sering terlibat dalam kegiatan advokasi dan organisasi yang bertujuan untuk mempromosikan kesetaraan gender dan menghentikan diskriminasi. Para perempuan harus aktif di dalam kelompok aktivis, lembaga nirlaba, dan jaringan yang berfokus pada pendidikan, pengembangan keterampilan, dan dukungan sosial bagi perempuan. Langkah-langkah ini membantu membangun solidaritas dan menguatkan suara perempuan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
Perempuan telah memanfaatkan kekuatan media sosial sebagai alat untuk melawan stigma dan mengubah persepsi yang merugikan. Melalui platform- platform seperti Tiktok, Twitter, Facebook, dan Instagram, perempuan berbagi kisah-kisah pribadi, pengalaman hidup, dan pandangan tentang isu-isu yang berkaitan dengan stigma sebagai sumber fitnah. Penggunaan media sosial ini memungkinkan perempuan untuk membentuk jaringan dan memperoleh dukungan dari komunitas yang lebih luas.
Perlawanan terhadap stigma sebagai sumber fitnah juga dilakukan melalui pendidikan dan penyadaran. Perempuan yang menyadari pentingnya mengubah narasi yang merugikan ini terlibat dalam upaya edukasi, baik di tingkat komunitas maupun di tingkat nasional. Perempuan memberikan pelatihan, seminar, dan ceramah untuk meningkatkan pemahaman tentang kesetaraan gender, mendorong pemikiran kritis, dan mempromosikan inklusi sosial.
Perlawanan perempuan terhadap stigma sebagai sumber fitnah adalah gerakan yang penting dalam mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Melalui advokasi, penggunaan media sosial, dan pendidikan, perempuan telah mengubah persepsi, meningkatkan kesadaran, dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Meskipun tantangan masih ada, langkah-langkah yang telah diambil oleh perempuan ini memberikan
inspirasi dan motivasi bagi semua pihak untuk terus melawan stigma dan membangun masyarakat yang lebih inklusif dan setara.
Penulis : Siti Latifah