“Kek, kenapa sih perempuan dianggap lemah?”
“Ah, siapa bilang?” Sini! Sini! kakek akan ceritakan sebuah kisah perempuan tiga zaman.”
“Hore! Kisah lagi!”
Bibir laki-laki yang sudah memasuki senja itu sedikit bergetar saat akan memulai kisahnya. Ia mulai membuka kisahnya yang pada suatu zaman perempuan itu sama sekali tak berarti. Bahkan setiap kali anak perempuan lahir akan langsung dibunuh.
“Kalau semua kelahiran anak perempuan dibunuh siapa yg akan melahirkan di masa depan?”
“Sebentar, ceritaku belum usai.”
Kemudian para lelaki dianggap lebih kuat dan berharga dibanding perempuan. Bahkan saat seorang perempuan hamil dan kemudian melahirkan seorang anak perempuan, dia dianggap payah.
“Dasar Wanita tak berguna! Kau membuatku malu karena melahirkan anak perempuan!” kemudian anak mereka akan langsung dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Maka datanglah pencerahan yang dibawa oleh laki-laki yang menerima wahyu Tuhan. Dia menyebarkan agama dan kemudian sedikit demi sedikit perempuan memiliki hak yang sama dan kedudukan yang lebih mulia.
“Ah, kalau kisah itu aku sudah mendengarnya dari guru mengajiku, Kek.” Guru mengajiku selalu bilang kalau surga di bawah telapak kaki ibu. Tapi kaki ibuku saja kasar dan pecah-pecah karena sering ke kebun.”
“Dasar bocah konyol!” dengar dulu kisahku yang kedua”
“Baiklah.”
Pada zaman yang kedua ini perempuan mulai bangkit. Teknologi makin canggih dan dunia makin sempit. Orang bisa mencapai suatu tempat dengan terbang dan hanya beberapa jam. Kendaraan-kendaraan dan transportasi tinggal pilih mana suka dan mana mampu beli. Mampu beli tapi tak suka ya sama saja. Suka tapi tak mampu beli ya kita ini. kakek tua itu memulai ceritanya dengan terkekeh. Perempuan pada zaman ini sudah sama derajatnya dengan laki-laki. Sama kuatnya. Mereka bahkan bisa memasang gas LPG, memanjat dan membenarkan genteng yang bocor. Bahkan setelah melahirkan dia bisa langsung ikut senam.
“Lihat Wanita itu, Kek! Jalannya membungkuk bahkan usianya masih muda. Padahal baru punya satu anak.”
“Aku dengar dia habis melahirkan. Dia melahirkan secara Cesar.”
“Apa itu Cesar, Kek?” apa aku juga dilahirkan dengan cara seperti itu?”
“Tidak! Jaman ibumu kedokteran belum canggih. Ibumu melahirkan di rumah dengan dibantu bidan.”
“Lalu Cesar itu apa?”
“Cesar adalah cara melahirkan yang kekinian, dengan cara bagian perut digunting lalu bayi dikeluarkan dengan cara diambil tangan.”
“Wih, ngeri ya, Kek. Perut kok disobek-sobek.” Berarti wanita yang jalannya bungkuk itu karena perutnya sobek yak Kek?”
“Iya. Tapi lihatlah dia. Masih hidup sampai sekarang bukan? Dia bahkan mengerjakan semua sendiri karena suaminya sudah mati beberapa hari lalu. Dua minggu setelah Cesar bahkan ia sudah bisa kembali bekerja di pabrik.”
“Berarti perempuan itu tidak payah ya, Kek?”
“Aku tak pernah bilang begitu.”
Dua kisah di senja itu ternyata tak membuat anak itu puas. Dia masih bertanya-tanya tentang kekuatan perempuan di Zaman ke tiga. Dia berlari dari tempat tidurnya menuju kamar kakeknya yang masih dalam satu atap.
“Kek! Kek! Bangun! Ayo ceritakan perempuan di zaman ke tiga!”
“Sudah malam, Le! Akan kulanjutkan besok pagi ya?”
“Ah, tidak mau. Aku mau mendengarnya sekarang, Kek.”
“Ah, sini Cah ganteng putuku sig genteng..!” tak lama kemudian anak laki-laki yang umurnya belum genap sepuluh tahun itu terlelap dalam pelukan kakeknya. Mereka tidur di kamar yang sempit ukuran 2×3 dengan ambin yang sudah termakan usia dan di atasnya terdapat Kasur kapuk yang sudah kempes dan keras.
“Kek, bangun!”
“Ah, kau bangunkan aku lagi?”
“Iya, Sudah subuh. Ayo kita subuhan dan lanjutkan ceritanya.”
“Kau masih tertarik dengan ceritanya?”
“Ah, tentu saja. Bahkan saat tidur aku memimpikan perempuan di zaman ke tiga.”
“Benarkah? Bagaimana kisahnya?”
Pada zaman ketiga dimulai dari sebuah kota yang diserang wabah ulat bulu yang jumlahnya tak terikat. Mereka masuk ke rumah-rumah dan menjangkiti semua orang. Yang terjangkit akan merasakan panas pada tubuhnya kemudian muntah dan penglihatannya mulai kabur.
Wabah itu menjangkiti sebagian besar laki-laki yang ada di sejumlah kota. Mereka mati satu persatu. Kuburan-kuburan di sepanjang jalan basah karena air mata anak-anak yang menjadi yatim dan perempuan yang menjadi janda. Kemudian pada zaman itu perempuan menjadi lebih banyak jumlahnya dibanding laki-laki.
Mereka bangkit dan mengerjakan semuanya. Bermodal dua tangan dan otaknya yang tiada batas mereka mulai menciptakan hal-hal yang luar biasa. Mereka bisa memasak, mencuci, membersihkan rumah dengan hanya menggunakan remot. Dengan hanya duduk dan menggerakkan jari-jarinya mereka bisa menghasilkan uang. Laki-laki mulai menipis stoknya. Kabut-kabut putih mulai menyelimuti di setiap pagi.
Perempuan-perempuan mulai bersuamikan dua sampai tiga orang untuk menunjukkan betapa hebatnya dia. Mereka menilai semua didapatkan dengan uang. Laki-laki makin tak berdaya. Perusahaan-perusahaan hanya menerima pekerja wanita. Mereka tak butuh laki-laki untuk membiayai semua kebutuhan hidupnya. Matahari tak lagi terbit dari timur. Awalnya mereka ketakutan saat melihat matahari pertama kali terbit dari barat. Namun kecerdasan perempuan memberi jawaban dan menyangkal kalau kiamat akan tiba.
“Ini hanya fenomena alam. Jangan khawatir!” kemudian semua perempuan mengatasi kekhawatiran itu.
“Kau tahu, Kek? Dalam mimpiku zaman itu akan dimulai setelah matinya seorang laki-laki tertua di desa ini.”
“Kek?! Bangun kek?!” bocah laki-laki itu mendapati kakeknya sudah tak bergerak dan dingin pasi serta memeluknya. Kemudian kabut tebal mulai menyambut pagi ini.
Akhil Bashiroh, tinggal di Kendal Jawa Tengah. Lulusan Sastra Jawa UNNES Semarang. Sehari-hari bekerja sebagai guru SD dan aktif menulis cerpen. Beberapa cerpennya dimuat di koran Suara Merdeka Semarang dan beberapa media online. Sekarang aktif di Komunitas Lereng Medini dan mengelola Perpustakaan Pondok Baca Ajar, Kendal Jawa Tengah.