Rabu, November 29, 2023

Proyeksi Organisasi IPPNU; Peran Strategis IPPNU dalam Mengurangi Perkawinan Anak

Kutub.id— Negara telah mengatur bahwa usia pernikahan baik laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun, sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 16 tahun 2019. Artinya perkawinan yang terjadi sebelum usia 19 tahun termasuk dalam perkawinan anak. Perkawinan anak ini memang masih marak terjadi di masyarakat Indonesia. Kita bisa melihat fenomena yang terjadi di tahun 2020 dimana sebanyak 64.211 perkawinan dengan dispensasi dikabulkan oleh pengadilan agama. Hal ini seiring dengan terjadinya Pandemi covid 19 yang mengakibatkan anak harus melaksanakan pendidikan jarak jauh. 

Nahasnya, ketika dihitung-hitung dari angka tersebut, sebanyak 176 anak memasuki perkawinan setiap harinya, dan yang lebih mencengangkan kembali bahwa 90% dari jumlah tersebut adalah anak perempuan. Hal ini bisa diartikan bahwa mayoritas yang terjadi adalah anak-anak perempuan ini menikah dengan laki-laki dewasa. Dan 10% nya terjadi antara anak laki-laki dan anak perempuan.

Pernikahan dalam usia yang belum proposional memang menimbulkan banyak sekali problematika terutama bagi anak perempuan. Diantaranya tidak siapnya fisik perempuan utamanya organ reproduksi yang mengakibatkan meningkatnya angka kematian Ibu. Bayi yang lahir dari Ibu berusia dibawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari. Disisi lain perkawinan anak juga berpotensi besar terjadinya kekerasan dalam rumah tangga serta perceraian yang dilatarbelakangi oleh relasi kuasa dan ekonomi. Yang tak kalah penting adalah munculnya dampak dalam pendidikan, kecil sekali peluang seorang anak yang sudah menikah untuk melanjutkan kembali proses pendidikan. Dan menyumbang angka rendahnya pendidikan. 

Faktor tradisi yang dikuatkan dengan justifikasi oleh tokoh agama maupun pimpinan adat menjadi salah satu pendukung terjadinya pernikahan anak. Dalam dunia yang mengalami digitalisasi ini, tagline dan kampanye nikah muda justru membanjiri konten-konten media sosial bahwa nikah muda lebih baik dari pada melakukan zina. Minimnya edukasi tentang dampak perkawinan anak juga belum bisa mengimbangi kekuatan tradisi serta kampanye media sosial tersebut.

Padahal perkawinan bukanlah hanya persoalan hawa nafsu. Manusia bukan hanya makhluk biologis yang hanya bertugas untuk melahirkan anak. Namun, manusia adalah makhluk multi dimensi yang memiliki banyak ruang potensi untuk diaktualisasikan. Memang menikahkan anak untuk menghindari zina dapat mencegah potensi masalah, namun justru tetap menimbulkan masalah aktual yang lebih besar.

Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama sebagai organisasi dibawah otonom NU dengan segmentasi pelajar dan santri dengan usia 13-27 tahun memang perlu mengambil peran dengan fenomena yang terjadi ini. Edukasi tentang dampak pernikahan anak perlu dimasifkan melalui media sosial. Para kader IPPNU juga harus menjadi agen penyaluran informasi ini. Pendekatan secara individual perlu dilakukan oleh kader-kader IPPNU utamanya di tingkat PAC, Komisariat serta Pimpinan Ranting atau IPPNU ditingkat kecamatan, sekolah serta desa/kelurahan. Pendekatan individu ini tentunya akan sangat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak perkawinan anak.

Yang tidak kalah penting adalah menjadikan IPPNU sebagai wadah nyata para kader dan anggota mengaktualisasikan dirinya. Menjadikan IPPNU sebagai wadah meningkatkan keilmuan serta minat dan bakat menjadi agenda penting bagi IPPNU di tingkatan manapun. Sehingga IPPNU bisa berfungsi secara maksimal dalam meningkatkan kapasitas sumber daya anggotanya. Tentunya gerakan ini harus dilakukan secara kolektif oleh IPPNU secara keseluruhan. Karena berbicarasoal perkawinan anak adalah berbicara soal kemaslahatan umat serta keberlangsungan peradaban manusia kedepannya.

Penulis : Nirma Aini Masfufah/ Ketua 1 PP IPPNU

Baca Juga

Stay Connected

0FansSuka
20PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles