Kutub.id- Putri Pertiwi Alami adalah salah satu bidang yang dimiliki oleh Aliansi Mahasiswa Jawa Barat yang kini bermarkas di Babakan Jawa, Bojongloa, Kabupaten Bandung. Organisasi yang bergerak di bidang aktivisme sosial dan agraria ini menggunakan lima nama tokoh perempuan di Jawa Barat sebagai nama sub-bidangnya.
Nama-nama tersebut adalah Inggit Garnasih, Subang Larang, Lasminingrat, Dewi Sartika, dan Nyimas Ayu Fatimah. Penamaan tersebut bermaksud untuk mengangkat nama-nama perempuan pejuang, selain Kartini dan Srikandi, yang kurang populer didengar oleh masyarakat.
Selain itu, nama-nama tersebut juga dipilih dan disesuaikan dengan konsentrasi acuan masing-masing sub bidang. Inggit Garnasih dipilih sebagai nama untuk sub bidang Kenegaraan dan Strategi dimana beliau merupakan sosok yang membantu Ir. Soekarno saat berada di tanah buangan.
Subang Larang sebagai nama sub-divisi keagamaan, Sub Ang Larang adalah gelar yang dialamatkan pada Kubang Kencana Ningrum yang berarti Pahlawan Berkuda. Jasanya berkisar pada penyebaran agama Islam di daerah yang kini dinamai atas gelarnya tersebut (red: Subang).
Dewi Sartika menjadi nama bagi sub-divisi yang berfokus pada pendidikan, mengingat kontribusinya dalam bidang itu. Tak hanya R. A Kartini, Jawa Barat juga punya Raden yang kemudian membangun sekolah-sekolah bagi kaum perempuan di Jawa Barat, yaitu Sakola Istri yang kemudian diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri.
Raden Ayu Lasminingrat digunakan sebagai nama sub-bidang Sastra dan Jurnalisme. Hal ini didasarkan pada jasanya dalam kepenulisan atau pengarangan karya sastra juga pengalihbahasaan karya-karya yang berasal dari luar negeri. Jurnalisme kemudian disandingkan karena masih berkisar dalam kajian kepenulisan.
Terakhir, Nyimas Ayu Fatimah dipilih untuk mewakili sub-divisi tata boga. Nyimas adalah peracik sambal Cibiuk yang sangat terkenal di daerah Jawa Barat. Harapannya, tentunya agar sub-bidang tersebut dapat menghasilkan kreasi boga yang luar biasa.
Putri Pertiwi Alami yang dibentuk pada 28 Oktober 2018 lalu, sekarang berjuang untuk mengembalikan kuasa masyarakat akan tanah dan kemandirian masyarakat atau yang lebih dikenal sebagai berdikari. Di daerah yang sudah tergerus industri masif tersebut, sudah sangat sedikit anak muda yang mau bertani, kembali ke desa dan hidup tanpa bergantung pada pabrik.
Mereka menunjukkan bahwa bertani dan menanam itu tetap sangat menghasilkan. Padi sebagai makanan pokok dan sayuran sebagai makanan pendamping yang tak perlu lagi dibeli. Ditambah tumbuhan herbal yang mereka olah sebagai masker organik dan kemudian dijual untuk menjadi penghasilan tambahan mereka.
Tidak semuanya harus berasal dari pabrik, di sekitar kita banyak hal yang manfaatnya hampir sama atau bahkan lebih baik dari apa-apa yang pabrikan. Masker organik tak kalah jauh manfaatnya dengan masker yang dibuat pabrik yang harganya bisa berkali-kali lipat bedanya. Karena ini desa, bukan pabrik.
Diyanah Nisa, Kontributor Kutub.id.