Kutub.id- Dunia pesantren tidak hanya melahirkan para tokoh laki-laki saja, tetapi juga banyak melahirkan tokoh perempuan yang mempunyai peran penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah Sholihah Wahid, sosok muslimah asal pesantren yang memiliki berbagai keahlian.
Sholihah adalah perempuan berdarah biru, kalangan priayi, dan kalangan ulama. Dengan demikian, Sholihah memiliki bakat, mental, serta warisan garis-garis perjuangan dari orang-orang besar di lingkungannya. Ia merupakan putri dari KH Bishri Syansuri, seorang Kiai sekaligus pendiri pondok pesantren di Jombang. Ibunya adalah Nyai Chadijah adik dari KH Wahab Hasbullah.
Sholihah merupakan sosok tokoh perempuan yang aktif dalam berbagai organisasi. Secara khusus, Gus Dur menerangkan kiprah dan sosok ibunya dalam sebuah buku Ibuku Inspirasiku bersama Gus Solah. Sholihah dikenal sebagai sosok yang tangguh dan teladan bagi kaum perempuan Nahdliyin. Ia selalu memegang teguh prinsip dan memupuk kepedulian kepada masyarakat yang terpinggirkan. Gus Dur menerangkan, bahwa pada awalnya Sholihah dikenal sebagai istri dari Kiai Wahid Hasyim, namun dalam perjalanan hidup selanjutnya, ia perlahan muncul sebagai pribadi sendiri, sebagai sosok pejuang dan tokoh masyarakat.
Dalam hal pendidikan, Sholihah lebih menonjol dan maju dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Sholihah lebih cepat menangkap dan memahami pelajaran karena ia memiliki kemauan yang kuat dalam belajar dan berkembang. Naluri kepemimpinan Sholihah terlihat ketika ia mampu mengatur saudara-saudaranya dalam membagi pekerjaan. Tak jarang sebuah ide muncul dalam benaknya, kemudian ia sosialisasikan. Misalnya membuat suatu kegiatan, seperti jahit-menjahit dan masak-memasak. Dengan ini dapat kita simpulkan bahwa putri Kiai Bishri Syansuri ini mampu tumbuh sebagai anak perempuan pemberani, liberal, banyak ide dan kemauan.
Pada suatu waktu, Sholihah Munawwaroh Wahid Hasyim pun melepas masa lajangnya dengan dinikahi Gus Abdurrahim, yang terkenal sebagai ahli khuffadz (penghafal al-Qur’an) dan memiliki pesantren di kampung Bungkung, Malang. Hanya saja usia pernikahan keduanya tidak berlangsung lama, yang kemudian wafat pada tahun awal pernikahan mereka. Kemudian, Sholihah menikah kembali dengan KH Wahid Hasyim pada tahun 1936 M, tepat hari Jum’at, 10 Syawal 1356 H.
Setelah menikah, pada awalnya, mereka tinggal di Denanyar, tetapi kemudian pindah ke Tebuireng, sampai sekitar tahun 1942. Buah dari penikahannya lahir enam anak yang di kemudian hari menjadi tokoh hebat yakni Presiden keempat Indonesia, KH Abdurrahman Wahid, Aisyah Hamid Baidlowi, KH Salahuddin Wahid, Umar Wahid, Lily Chodijah Wahid, dan Hasyim Wahid.
Ketika KH Wahid Hasyim diangkat menjadi menteri agama, Sholihah ikut pindah lagi ke Jakarta. Di Jakarta beliau terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, terutama di Muslimat NU Jakarta. Keterlibatannya yang aktif di arena perbaikan masyarakat dan kepejuangannya, dimulai dengan menjadi anggota Muslimat NU Gambir (1950), Ketua Muslimat NU Matraman (1954), Ketua Muslimat NU DKI Jaya (1956), hingga Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU tahun 1959 sampai beliau wafat pada Jumat, 29 Juli 1994 dalam usia 72 tahun.
Dalam kegiatan di lingkungan Muslimat, Sholihah merintis berdirinya Yayasan Kesejahteraan Muslimat (YKM) yang mengelola segala jenis fasilitas umum seperti Rumah Sakit, klinik, panti asuhan, rumah bersalin, dan fasilitas sosial lainnya. Kegiatan sosialnya tidak hanya di lingkungan Muslimat NU saja, ia juga aktif di berbagai organisasi sosial seperti YDB (Yayasan Dana Bantuan), Yayasan Bunga Kamboja, IKPNI (Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia), Home Care, panti jompo dan pengajian untuk para ibu yang dinamakan al-Ishlah di Mataraman. Di dalamnya ia sangat aktif dan cukup berperan.
Namun, dengan kesibukannya di luar rumah tidak lantas membuat Sholihah melupakan tanggung jawab mendidik anak-anaknya. Selain menerapkan jiwa pesantren, ia juga sangat disiplin dalam menerapkan pendidikan terhadap putra-putrinya. Pengasuhan anak menjadi tanggung jawab besar bagi Sholihah sehingga figurnya sebagai orang tua sangat dominan di mata anak-anaknya. Tekad besarnya adalah pendidikan anak harus didapat pertama dan utama dari orang tuanya sendiri meskipun ia harus mengasuh anak sendiri pada saat ditinggal suaminya dengan pekerjaan di luar rumah.
Sholihah memperlakukan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, kehangatan, dan prinsip egaliter. Ia tidak pernah mengambil jarakn dengan anak-anaknya. perjuangan Sholihah tidak hanya menjadi seorang ibu, ia juga seorang santri dan negarawan yang patut diteladani bagi kaum perempuan Nahdliyin. Sholihah lahir dan besar di lingkungan NU dan terlibat aktif dalam kegiatan Muslimat. Keaktifannya dalam membesarkan muslimat di Jakarta mengantarkannya duduk di kursi DPRD mewakili NU. Tidak hanya itu, Sholihah pun melanjutkan perjalanan politiknya hingga terpilih sebagai anggota DPR Gotong Royong mewakili partainya.
Dalam banyak hal, Sholihah memilih untuk tidak terpaku pada permainan politik. Keberadaanya pada organisasi politik ia niatkan untuk mengembangkan muslimat dan memperlihatkan sosok yang memegang teguh komitmen moral keagamaan. Hal tersebut dapat dilihat ketika adanya perbedaan interpretasi mengenai pasal aliran kepercayaan, Sholihah bersama teman-teman partainya lebih memilih walk out.
Bisa kita lihat, Sholihah merupakan pribadi yang terbuka dan mudah bergaul dengan siapa saja, sangat rajin melakukan silaturrahim kepada banyak pihak. Beliau induk ayam bagi para pimpinan NU pada masanya, tidak pernah lepas kontak dengan para pemimpin masyarakat lokal dan nasional, aktif berdakwah dan berorganisasi namun tugasnya sebagai ibu dan istri tidak pernah ditinggalkan.
Sholihah adalah bukti bahwa perempuan pesantren bukan pribadi yang apatis dan hanya bisa menjadi konco wingking (teman pelengkap) saja, apalagi dalam dunia politik. Apa yang dilakukan oleh Nyai Solihah adalah bukti perempuan bisa menjadi pasangan bagi kaum laki-laki, bukan hanya di dalam rumah tapi juga di luar rumah tanpa meninggalkan tugasnya sebagai seorang istri dan seorang ibu.
Teks/Foto: Zakiyah
Editor: Renita