Oleh Abdul Muiz Ali
Istilah ditikung dan tikung menikung bagi anak milenial di zaman sekarang tentu tak asing lagi, bicara tentang anak muda memang tak jauh-jauh dari perasaan, di mana pada usia ini mereka sedang menggebu-gebu sedang panas-panasnya terhadap hal-hal baru yang ditemukannya. Panas dalam pemikiran dan panas dalam perasaan.
Namun, berbeda dengan kader IPNU dan IPPNU, di saat muda-mudi lain identik dengan kebebasan, bersenang-senang dan menikmati masa mudanya, kader IPNU-IPPNU justru bergulat dalam kaderisasi generasi penerus Aswaja. Tapi tidak semalang itu fergusoh, tentu dalam setiap perjuangan tidak selalu identik dengan kemalangan, di IPNU justru ada motivasi lain.
“Ya dia, teteh IPPNU itu lho”.
Di antara dalil mengapa anak IPNU rela mengurus kader pelajar NU adalah “Bisi ditikah ku lain NU, ke moal tahlil” artinya, “mending IPPNU dijaga IPNU daripada ngeluyur ngikutin si gak jelas itu”.
Masa remaja seolah menjadi tahbis pembuktian kedewasaan kader IPNU kepada IPPNU bahwa mereka adalah pemimpin yang sigap dan siap.
Namun banyak ironi yang terjadi, salah satu hal yang lumrah, menyakitkan tapi harus direlakan adalah karena banyak kader IPPNU yang di didik oleh IPNU namun ditikung oleh Ansor. Hal ini bukan hal yang aneh, karena rata-rata usia remaja NU yang menikah berada di usia dan kaderisasi Ansor, sedangkan kaum hawanya masih berada di usia dan kaderisasi IPPNU. Jadi untuk kader IPNU, teruslah berjuang meski harus ditikung. Akan ada masa depan dan masamu!
Penulis adalah Sekretaris IPNU Kabupaten Pangandaran