KUTUB.ID– Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam suku dan budaya. Dengan banyaknya suku di Indonesia tentunya dibarengi dengan budaya-budaya beragam, unik dan berbeda di setiap daerahnya. Budaya merupakan salah satu cara hidup yang diwariskan oleh nenek moyang kita dari generasi ke generasi, budaya ini seolah-olah telah mendarah daging di kehidupan masyarakat yang mengatur bagaimana seorang masyarakat berperilaku di lingkungan masing-masing.
Budaya yang ada dimasyarakat tersebut mengatur segala aspek kehidupan masyarakat dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Salah satu contohnya adalah budaya “Uang Panai” dalam proses pernikahan suku Bugis yang ada di Sulawesi Selatan. Siapa lagi yang belum mengetahui budaya suku Bugis tersebut ? budaya yang ramai diperbincangkan di media sosial, terlebih lagi mahar yang diberikan oleh pihak laki-laki untuk meminang perempuan Bugis memiliki jumlah fantastis sehingga banyak yang mengira bahwasanya hal itu merupakan pemerasan kepada pihak laki-laki.
Lebih dulu kita pahami bersama bahwa uang Panai berbeda dengan mahar, karena untuk mahar akan ada jumlah lain tersendiri. Panai adalah uang belanja yang harus dibayarkan oleh pihak pengantin pria sebagai syarat adat yang dianggap sebagai kewajiban dengan jumlah yang disepakati oleh kedua pihak keluarga untuk meminang calon wanita dan dengan klasifikasinya tersendiri, tergantung berbagai faktor dari sang wanita, terutama pertimbangan tingkat strata sosial wanita serta tingkat pendidikannya.
Panai’ yang dimaknai sebagai rasa penghargaan oleh pihak calon mempelai pria kepada wanita. Makna ini cukup jelas bahwa suku Bugis sangat menghargai keberadaan wanita sebagai makhluk Tuhan yang sangat berharga, sehingga tak sembarang orang dapat meminang wanita Bugis.
Makna lain yang terkandung adalah keseriusan dari sang calon mempelai lelaki. Panai mengindikasikan bahwa sang peminang benar-benar serius atau tidak sehingga menikah dengan wanita Bugis bukanlah hal main-main.
Besarnya uang panai ini diputuskan berdasarkan perundingan antara kedua calon mempelai. Hal ini dilakukan ketika mempelai pria datang ke rumah mempelai wanita dengan tujuan meminang anak gadis dari keluarga tersebut. Pertemuan ini biasanya dikenal dengan istilah ‘mammanu’-manu’’ (istilah ini untuk suku Bugis Makassar, berbeda lagi di daerah suku Bugis lainnya.
Di pertemuan inilah akan membahas perihal acara pernikahan nantinya. Dan dalam diskusi ini dilakukannya tawar-menawar dari kedua belah pihak, karena besarnya jumlah uang panai ditentukan oleh pihak keluarga perempuan dengan melihat strata sosial dan latar belakang pendidikan dari gadis yang akan dipinang.
Setelah pihak keluarga mempelai pria menyanggupi mahar yang uang panai yang telah ditentukan, maka dibahaslah persiapan-persiapan untuk mengadakan pesta pernikahan. Namun sebaliknya, apabila dari pihak pria tidak sanggup maka lamarannya akan ditolak sehingga tidak akan dilangsungkan pernikahan.
Dalam budaya ini cukup banyak masyarakat yang merasa terbebani terlebih lagi dari pihak laki-laki. Hal ini akan mempengaruhi secara psikologis terutama laki-laki karena merasa tidak mampu dan direndahkan oleh pihak wanita. Yang mengakibatkan mereka takut untuk memulai lagi suatu hubungan yang baru.
Dan karena hal tersebut juga banyak yang melakukan kawin lari ataupun melakukan pernikahan di bawah umur, disebabkan karena ketika mereka masih di bawah umur maka uang yang akan diberikan oleh pihak laki-laki bisa jadi dalam jumlah yang sedikit, dan tidak membebankan dari pihak laki-laki.
Akan tetapi tidak sedikit juga laki-laki menganggap ini merupakan hal yang wajar. Karena mereka menganggap dengan besarnya uang panai yang telah ditentukan menjadikan mereka termotivasi untuk bekerja keras agar bisa secepatnya meminang gadis pujaan mereka. Karena pun pria Bugis dianggap memiliki kegigihan bekerja keras untuk memenuhi permintaan besarnya uang panai dan menjunjung tinggi budaya Siri’ (Siri’ adalah harga diri atau martabat tertinggi yang ada dalam diri suku Bugis.
(Reza)