Oleh Ilham Abdul Jabar
Belakangan ini banyak Ustadz-ustadz yang penulis sebut dengan Ustadz karbitan, yaitu mereka yang belajar agamanya secara instan sehingga menerjemahkan bahkan menafsirkan ayat Al-Qur’an dan Hadits menurut pemikirannya sendiri tanpa ditinjau oleh satu fan ilmu yang secara spesifik membahas suatu bahasa, fan ilmu ini diberi nama Balaghah. Kalau di pesantren Ilmu ini adalah ilmu yang dikaji oleh santri tingkat tertinggi yang sudah menguasai ilmu Nahwu dan Shorof.
Jadi dengan kata lain ilmu Nahwu dan Shorof saja tidak cukup untuk bisa menerjemahkan ayat Al-Qur’an dan Hadits, apalagi menafsirkannya, perlu peninjauan khusus dari berbagai disiplin ilmu untuk hal itu. Lalu apa dampak buruknya tidak mempelajari salah satu disiplin ilmu ini? Yang pasti terjemahannya akan salah kaprah, bahkan akan membuahkan tafsiran-tafsiran yang salah seperti berpendapat bahwa Rasul pernah sesat, ulama bisa dari kalangan hewan, orang tua nabi kafir dan yang lainnya. Maka kesalahan-kesalahan seperti ini akan diminimalisir jika menguasai ilmu Balaghah.
Saya kasih gambarannya secara garis besar. Ilmu Balaghah mempunyai tiga sub disiplin ilmu, yaitu; Bayan, ma’ani dan badi’ yang semua itu mempunyai fungsinya masing-masing.
Pertama Ilmu Bayan, ilmu ini berfungsi untuk mengetahui makna dari suatu bahasa yang diungkapkan, Ada tiga bahasan pokok dalam ilmu ini yaitu; At-Tasybīh (perumpamaan) , Al-Majaz (arti suatu lafadz bukan makna aslinya) dan Al-Kinayah (idiom), namun dari ketiga ini pun cabangnya sangat banyak.
Kedua Ilmu Ma’ani, ilmu ini berfungsi untuk mengetahui kesesuaian antara konteks pembicaraan dengan situasi dan kondisi sehingga maksud dan tujuan bisa tersampaikan secara jelas dan gamblang. Ada Tujuh bahasan pokok dalam ilmu ini yaitu; Khabar dan Insya’, Musnad dan Musnad Ilaih, Ijaz, Musawah, Ithnab, Qashr, Fashal dan Washal.
Ketiga ilmu badi’, ilmu ini berfungsi untuk memperindah bahasa. Ilmu ini hanya ada dua tema pembahasan, yaitu; muhassinatul lafhdziyyah dan muhassinatul ma’nawiyyah. Muhassinat Lafdziyya adalah cara untuk memperindah kata dari segi pelafalan atau bunyinya, sementara Muhassinatul ma’nawiyyah adalah cara mengindahkan makna dalam suatu ungkapan.
Maka sudah barang tentu untuk menggali mutiara-mutiara yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits menguasai disiplin ilmu Balaghah, dan perlu bertahun-tahun untuk bisa menguasai fan ilmu ini. karena itulah santri di pondok tidak berani menafsirkan satu hadits atau satu ayat Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri. Karena mereka tahu bahwa Rasul memberi ancaman untuk orang-orang yang menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri.
وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka”. (HR. Tirmidzi no. 2951)
Ibnu Katsir pun menyampaikan dalam muqaddimah Tafsirnya Jilid 1 hal 11 bahwa , “Menafsirkan Al Qur’an dengan logika semata, hukumnya haram”.
Karena ingin serba instan, mondok diabaikan, Google dijadikan pegangan, akhirnya suka menyesat-nyesatkan, ohh Tuhan….
Semoga kita terus mempelajari ilmu agama di pesantren dengan guru-guru yang sanad (transformasi) keilmuannya jelas.
Penulis adalah Dewan Pengajar Pondok Pesantren Al-Hikmah Mugarsari