Kutub.id- Apa jadinya jika tiga perempuan yang bertemu di Madrasah Tsanawiyah di desa Ciudian, Garut, berani menantang stigma perempuan muda berhijab yang justru membawa mereka sukses tur musik hingga tanah Eropa?
Di Jakarta lah, mereka akhirnya mengadu nasib. Di kota Metropolitan ini mereka mempelajari musik, bahasa Inggris, mempermudah akses mereka dalam berkarya, berbagi cerita dengan media, hingga persiapan untuk tur-tur luar negeri berikutnya.
Baik Marsya, Siti maupun Widi, tidak pernah menyangka mereka ada di titik kesuksesan ini. Dulu mereka hanya ingin ikut ekstrakurikuler teater, yang malah bermuara ke sebuah kelompok band. Jika tidak ada kehadiran Abah sang mentor dan tekad kuat, mungkin ketiga perempuan yang masih berusia di bawah 22 tahun ini, masih berada di Garut, mengikuti jejak teman-teman seusia mereka. Yaitu, menikah.
(Not) Public Property yang menjadi single terbaru Voice of Baceprot (VoB), rilis bertepatan dengan International Women’s Day waktu lalu. Lagu ini menjadi representasi kegerahan mereka akan tuntutan dan stigma terhadap perempuan. Lagu ini mereka gencarkan untuk menunjukkan bahwa berbagai stigma tentang perempuan, masih kokoh bersuar di negara ini. Bahwa tubuh perempuan dan pemikirannya, adalah milik sendiri dan bukan menjadi urusan orang lain.
Apa yang terjadi di lingkungan hidup mereka—baik secara hubungan sosial maupun sektor pendidikan—menjadi inspirasi kenapa lagu-lagu mereka sangat kental akan isu sosial. Mulai dari kesetaraan gender, sistem pendidikan yang perlu diperbaiki lagi, hingga penilaian orang terhadap perempuan di skena musik metal. Bahkan, tuntutan sosial untuk perempuan juga begitu besar, mulai dari standar usia menikah, jenjang karier, hingga cara mendidik anak yang tak putus dari kritik.
“Jangan pernah kehilangan kebanggaan pada diri kita, ketika ada orang yang bilang kalau kita tuh, belum cukup baik. Karena kita sendirilah yang lebih kenal kemampuan dalam diri dan kualitas diri kita,” kata Siti menanggapi betapa besarnya tuntutan sosial masyarakat terhadap jati diri perempuan.
Menyambung Siti, Marsya juga memberikan ketegasan, bahwa yang harus diutamakan ialah kebahagiaan terhadap diri sendiri.
“yang pasti harus utamakan kebahagiaan diri sendiri dulu. Buat teman-teman yang sudah menikah dan punya anak, kita harus bisa memutus rantai patriarki, istilahnya. Kita harus bisa mengajarkan kepada anak-anak kita nanti, bagaimana berbagi peranan porsi di rumah. Aku menyadari bahwa proses untuk menjadi sebuah kebiasaan tersebut tidak terjadi dalam satu-dua hari, melainkan karena diajari dan dibiasakan,” ungkap Siti.
Senada dengan kedua temannya, Widi memberikan komentarnya dengan santun, “Untuk siapapun, mau perempuan atau cowok, harus bisa mencintai dan menghargai diri, karena itu wujud dari rasa syukur yang paling indah. Karena dengan hal itu, kita bisa lebih mengenali betapa berharganya siapapun dan apapun kita. Kita bisa menjadi apa pun yang kita inginkan dengan bangga dan bahagia.”
Saat ini Voice of Baceprot sedang mematangkan kelihaian mereka bermusik, sekaligus mempersiapkan diri untuk tur berikutnya ke berbagai negara di Eropa yang akan berlangsung pada tahun ini.
Jika mereka yang berasal dari desa bisa mewujudkan mimpinya dan mematahkan stigma dan keraguan dalam melangkah, kamu bisa juga, kan?
Editor: Renita
Sumber: popbela.com